BIOLOGI ONLINE

blog pendidikan biologi

PEWARISAN SITOPLASMIK

BAB VIII

PEWARISAN SITOPLASMIK

  • Kriteria Pewarisan Sitoplasmik
  • Organel Sitoplasmik Pembawa Materi Genetik
  • Pengaruh Genetik Simbion Sitoplasmik pada Paramaecium
  • Mekanisme Sterilitas Jantan pada Jagung
  • Pengaruh Maternal dan Pewarisan Maternal

 

BAB VIII. PEWARISAN SITOPLASMIK

Sebegitu jauh pembicaraan kita tentang pewarisan sifat pada eukariot selalu dikaitkan dengan gen-gen yang terletak di dalam kromosom/nukleus. Kenyataannya gen-gen kromosomal ini memang memegang peranan utama di dalam pewarisan sebagian besar sifat genetik. Meskipun demikian, sesekali pernah pula dilaporkan bahwa ada sejumlah sifat genetik pada eukariot yang pewarisannya diatur oleh unsur-unsur di luar nukleus. Pewarisan ekstranukleus, atau dikenal pula sebagai pewarisan sitoplasmik, ini tidak mengikuti pola Mendel.

Pewarisan sifat sitoplasmik diatur oleh materi genetik yang terdapat di dalam organel-organel seperti mitokondria, kloroplas (pada tumbuhan), dan beberapa komponen sitoplasmik lainnya. Begitu juga virus dan partikel mirip bakteri dapat bertindak sebagai pembawa sifat herediter sitoplasmik. Pada Bab VIII ini akan dibahas berbagai contoh kasus yang termasuk dalam pewarisan sitoplasmik. Di bagian akhir dibicarakan pula suatu fenomena lain yang masih ada sangkut pautnya dengan pewarisan sitoplasmik.

Kriteria Pewarisan Sitoplasmik

Sebenarnya tidak ada kriteria yang dapat berlaku universal untuk membedakan pewarisan sitoplasmik dengan pewarisan gen-gen kromosomal. Namun, setidak-tidaknya lima hal di bawah ini dapat digunakan untuk keperluan tersebut.

1.      Perbedaan hasil perkawinan resiprok merupakan penyimpangan dari pola Mendel. Sebagai contoh, hasil persilangan antara betina A dan jantan B tidak sama dengan hasil persilangan antara betina B dan jantan A. Jika dalam hal ini pengaruh rangkai kelamin (Bab VI) dikesampingkan, maka perbedaan hasil perkawinan resiprok tersebut menunjukkan bahwa salah satu tetua (biasanya betina) memberikan pengaruh lebih besar daripada pengaruh tetua lainnya dalam pewarisan suatu sifat tertentu.

2.      Sel kelamin betina biasanya membawa sitoplasma dan organel sitoplasmik dalam jumlah lebih besar daripada sel kelamin jantan. Organel dan simbion di dalam sitoplasma dimungkinkan untuk diisolasi dan dianalisis untuk mendukung pembuktian tentang adanya transmisi maternal dalam pewarisan sifat. Jika materi sitoplasmik terbukti berkaitan dengan pewarisan sifat tertentu, maka dapat dipastikan bahwa pewarisan sifat tersebut merupakan pewarisan sitoplasmik.

3.      Gen-gen kromosomal menempati loki tertentu dengan jarak satu sama lain yang tertentu pula sehingga dapat membentuk kelompok berangkai (Bab V). Oleh karena itu, jika ada suatu materi penentu sifat tidak dapat dipetakan ke dalam kelompok-kelompok berangkai yang ada, sangat dimungkinkan bahwa materi genetik tersebut terdapat di dalam sitoplasma

4.      Tidak adanya nisbah segregasi Mendel menunjukkan bahwa pewarisan sifat tidak diatur oleh gen-gen kromosomal tetapi oleh materi sitoplasmik.

5.      Substitusi nukleus dapat memperjelas pengaruh relatif nukleus dan sitoplasma. Jika pewarisan suatu sifat berlangsung tanpa adanya pewarisan gen-gen kromosomal, maka pewarisan tersebut terjadi karena pengaruh materi sitoplasmik.

Organel Sitoplasmik Pembawa Materi Genetik

Di dalam sitoplasma antara lain terdapat organel-organel seperti mitokondria dan kloroplas, yang memiliki molekul DNA (lihat Bab IX) dan dapat melakukan replikasi subseluler sendiri. Oleh karena itu, kedua organel ini sering kali disebut sebagai organel otonom. Beberapa hasil penelitian memberikan petunjuk bahwa mitokondria dan kloroplas pada awalnya masing-masing merupakan bakteri dan alga yang hidup bebas. Dalam kurun waktu yang sangat panjang mereka kemudian membangun simbiosis turun-temurun dengan sel inang eukariotnya dan akhirnya berkembang menjadi organel yang menetap di dalam sel.

Mitokondria, yang dijumpai pada semua jenis organisme eukariot, diduga membawa hingga lebih kurang 50 gen di dalam molekul DNAnya. Gen-gen ini di antaranya bertanggung jawab atas struktur mitokondria itu sendiri dan juga pengaturan berbagai bentuk metabolisme energi. Enzim-enzim untuk keperluan respirasi sel dan produksi energi terdapat di dalam mitokondria. Begitu juga bahan makanan akan dioksidasi di dalam organel ini untuk menghasilkan senyawa adenosin trifosfat (ATP), yang merupakan bahan bakar bagi berbagai reaksi biokomia.

Sementara itu, kloroplas sebagai organel fotosintetik pada tumbuhan dan beberapa mikroorganisme membawa sejumlah materi genetik yang diperlukan bagi struktur dan fungsinya dalam melaksanakan proses fotosintesis. Klorofil beserta kelengkapan untuk sintesisnya telah dirakit ketika kloroplas masih dalam bentuk alga yang hidup bebas. Pada alga hijau plastida diduga membawa mekanisme genetik lainnya, misalnya mekanisme ketahanan terhadap antibiotik streptomisin pada Chlamydomonas, yang nanti akan dibicarakan pada bagian lain bab ini.

Mutan Mitokondria

Pada suatu penelitian menggunakan khamir Saccharomyces cerevisae B. Ephrusi menemukan sejumlah koloni berukuran sangat kecil yang kadang-kadang terlihat ketika sel ditumbuhkan pada medium padat. Koloni-koloni ini dinamakan mutan petit (petite mutant). Hasil pengamatan mikroskopis menunjukkan bahwa sel-sel pada koloni tersebut berukuran normal. Namun, hasil studi fisiologi menunjukkan bahwa sel-sel tersebut mengalami petumbuhan yang sangat lambat karena adanya kelainan dalam metabolisme senyawa karbon. Mutan petit melakukan metabolisme karbon bukan dengan respirasi menggunakan oksigen, melainkan melalui fermentasi glukosa secara anaerob yang jelas jauh kurang efisien bila dibandingkan dengan respirasi aerob.

Analisis genetik terhadap hasil persilangan antara mutan petit dan tipe liarnya memperlihatkan adanya tiga tipe mutan petit seperti dapat dilihat pada Gambar 8.1.

Tipe pertama memperlihatkan segregasi Mendel seperti biasanya sehingga dinamakan petit segregasional. Persilangan dengan tipe liarnya menghasilkan zigot diploid yang normal. Jika zigot ini mengalami pembelahan meiosis, akan diperoleh empat askopora haploid dengan nisbah fenotipe 2 normal : 2 petit. Hal ini menunjukkan bahwa petit segregasional ditimbulkan oleh mutasi di dalam nukleus. Selain itu, oleh karena zigot diploid mempunyai fenotipe normal, maka dapat dipastikan bahwa alel yang mengatur mutan petit merupakan alel resesif.

Tipe ke dua, yang disebut petit netral, berbeda dengan tipe pertama jika dilihat dari keempat askopora hasil pembelahan meiosis zigot diploid. Keempat askospora ini semuanya normal. Hasil yang sama akan diperoleh apabila zigot diploid disilang balik dengan tetua petitnya. Jadi, fenotipe keturunan hanya ditentukan oleh tetua normalnya. Dengan perkataan lain, pewarisan sifatnya merupakan pewarisan uniparental. Berlangsungnya pewarisan uniparental tersebut disebabkan oleh hilangnya sebagian besar atau seluruh materi genetik di dalam mitokondria yang menyandi sintesis enzim respirasi oksidatif pada kebanyakan petit netral. Ketika sel petit netral bertemu dengan sel tipe liar, sitoplasma sel tipe liar akan menjadi sumber materi genetik mitokhodria bagi spora-spora hasil persilangan petit dengan tipe liar sehingga semuanya akan mempunyai fenotipe normal.

Segregasional                          Netral                            Supresif

 

haploid :                         x                                        x                                       x

 

 

zigot diploid :                          normal                             normal                              petit

 

 

askospora :

 

 

 

 

 

 

 

2 normal : 2 petit                       4 normal                           4 petit

Gambar 8.1. Pewarisan mutasi petit pada persilangan dengan tipe liarnya

(lingkaran kecil menggambarkan sel petit ; nukleus bergaris    mendatar membawa alel untuk pembentukan petit)

Tipe ke tiga disebut petit supresif, yang hingga kini belum dapat dijelaskan dengan baik. Pada persilangannya dengan tipe liar dihasilkan zigot diploid dengan fenotipe petit. Selanjutnya, hasil meiosis zigot petit ini adalah empat askospora yang semuanya mempunyai fenotipe petit. Dengan demikian, seperti halnya pada tipe petit netral, pewarisan uniparental juga terjadi pada tipe petit supresif. Bedanya, pada petit supresif alel penyebab petit bertindak sebagai penghambat (supresor) dominan terhadap aktivitas mitokondria tipe liar. Petit supresif juga mengalami kerusakan pada materi genetik mitokondrianya tetapi kerusakannya tidak separah pada petit netral.

Selain pada khamir S. cerevisae, kasus mutasi mitokondria juga dijumpai pada jamur Neurospora, yang pewarisannya berlangsung uniparental melalui tetua betina (pewarisan maternal) meskipun sebenarnya pada jamur ini belum ada perbedaan jenis kelamin yang nyata. Mutan mitokondria pada Neurospora yang diwariskan melalui tetua

10/31/2009 Posted by | Genetika Dasar | 2 Komentar

BERANGKAI

BAB V

BERANGKAI

  • Dua Gen Berangkai dan Pindah Silang
  • Tiga Gen Berangkai dan Pindah Silang Ganda
  • Pemetaan Kromosom
  • Pemetaan Kromosom

pada Manusia

BAB V. BERANGKAI

Percobaan-percobaan persilangan pada kacang ercis yang dilakukan oleh Mendel, baik monohibrid maupun dihibrid, telah menghasilkan dua hukum Mendel, yakni hukum segegasi dan hukum pemilihan bebas. Jika kembali kita perhatikan persilangan dihibrid menyangkut pewarisan warna biji dan bentuk biji, maka akan terlihat bahwa gamet-gamet yang terbentuk tidak hanya mengandung kombinasi gen dominan untuk warna biji (K) dengan gen dominan untuk bentuk biji (B), tetapi memungkinkan pula kombinasi gen resesif untuk warna biji (k) dengan gen resesif untuk bentuk biji (b), dan juga kombinasi gen K dengan gen b, serta gen k dengan gen B. Oleh karena peluang terjadinya kombinasi-kombinasi tersebut sama besar, maka keempat macam gamet yang dihasilkan, yaitu KB, Kb, kB, dan kb, akan mempunyai nisbah 1 : 1 : 1 : 1.

Gen-gen yang mengatur warna biji dan bentuk biji dewasa ini telah diketahui letaknya masing-masing. Gen pengatur warna biji terletak pada kromosom 1, sedang gen pengatur bentuk biji terletak pada kromosom 7. Inilah keuntungan lain yang diperoleh Mendel di samping secara kebetulan tanaman yang digunakan adalah diploid. Seandainya gen pengatur warna biji dan gen pengatur bentuk biji terletak pada kromosom yang sama, barangkali Mendel tidak akan berhasil merumuskan hukum pemilihan bebas.

Saat ini kita telah mengetahui bahwa banyaknya gen pada kacang ercis, dan juga pada setiap spesies organisme lainnya, jauh lebih banyak daripada jumlah kromosomnya. Artinya, di dalam sebuah kromosom tertentu dapat dijumpai lebih dari sebuah gen. Gen-gen yang terdapat pada kromosom yang sama dinamakan gen-gen berangkai (linked genes), sedang fenomenanya sendiri dinamakan berangkai (linkage).

Fenomena berangkai pertama kali ditemukan pada percobaan dihibrid oleh W.Bateson dan R.C Punnet pada tahun 1906. Akan tetapi, mereka tidak dapat memberikan interpretasi terhadap hasil persilangan yang diperoleh. Baru sekitar lima tahun kemudian seorang ahli genetika dan embriologi dari Amerika Serikat, T.H. Morgan, dapat menjelaskan mekanisme pewarisan gen-gen berangkai pada lalat Drosophila melanogaster. Dari konsep mengenai berangkai ini selanjutnya berkembang pengetahuan mengenai pindah silang (crossing over) dan pemetaan kromosom, yang sebagian besar melibatkan karya Morgan dan para mahasiswanya seperti C.B. Bridges, H.J. Muller, dan A.H. Sturtevant. Seluk-beluk mengenai gen-gen berangkai, termasuk cara memetakannya pada kromosom tempat mereka berada, akan menjadi pokok bahasan pada Bab V ini.

Dua Gen Berangkai

Dua buah gen yang berangkai akan mengalami segregasi dan rekombinasi dengan pola yang tidak mengikuti hukum Mendel. Artinya, pola segregasi dan rekombinasinya tidak bebas sehingga tiap macam gamet yang dihasilkannya pun menjadi tidak sama jumlahnya.

Adanya perbedaan jumlah di antara macam gamet yang terbentuk tersebut disebabkan oleh kecenderungan gen-gen berangkai untuk selalu berada bersama-sama. Jadi, kalau gen-gen yang berangkai adalah sesama dominan dan sesama resesif, maka gamet yang mengandung gen-gen dominan dan gamet yang mengandung gen-gen resesif akan dijumpai lebih banyak daripada gamet dengan kombinasi gen dominan-resesif. Demikian pula, dalam keadaan gen dominan berangkai dengan gen resesif, gamet yang mengandung kombinasi gen dominan-resesif akan lebih banyak jumlahnya daripada gamet dengan kandungan gen sesama dominan dan sesama resesif.

Sebagai contoh, jika gen A dan gen B berangkai pada suatu kromosom sementara alel-alel resesifnya, a dan b, juga berangkai pada kromosom homolognya, maka gamet-gamet yang dihasilkan akan terdiri atas AB, Ab, aB, dan ab dengan nisbah n : 1 : 1 : n.  Sebaliknya, jika gen A berangkai dengan gen b, dan gen a berangkai dengan gen B,  maka nisbah gamet AB : Ab : aB : ab menjadi 1 : n : n : 1. Dalam hal ini n merupakan bilangan positif dengan nilai lebih dari satu.

Untuk lebih jelasnya pada Gambar 5.1 di bawah ini secara skema dapat diperbandingkan tiga kemungkinan segregasi dan rekombinasi gen-gen pada individu dihibrid AaBb. Gambar 5.1.a) memperlihatkan pola segregasi dan rekombinasi gen-gen yang terjadi secara bebas karena keduanya tidak berangkai.  Sementara itu, pada Gambar 5.1.b) dan 5.1.c) tampak bahwa segregasi dan rekombinasi kedua gen tidak terjadi secara bebas. Dua gen yang berangkai cenderung untuk selalu bersama-sama atau tidak bersegregasi di dalam gamet-gamet yang terbentuk.

A                        B                               A       B                        A     b

a                         b                                a        b                         a     B

gamet :

A B 1 A         B n A         b n
A b 1 a          b n a         B n
a B 1 A         b 1 A        B 1
a b 1 a          B 1 a         b 1

a)                                                  b)                             c)

Gambar 5.1. Gamet yang terbentuk dari individu dihibrid

a) Kedua gen tidak berangkai

b) Kedua gen berangkai dengan kedudukan sis

c) Kedua gen berangkai dengan kedudukan trans

Kedudukan Dua Gen Berangkai

Kalau kita perhatikan lagi Gambar 5.1, akan tampak bahwa dua buah gen yang  berangkai dapat berada pada dua macam kedudukan atau konfigurasi yang berbeda. Pada Gambar 5.1.b) gen dominan A berangkai dengan gen dominan B dan gen resesif a berangkai dengan gen resesif b. Kedudukan gen berangkai semacam ini dinamakan sis atau coupling phase. Sebaliknya, jika gen dominan berangkai dengan gen resesif seperti pada Gambar 5.1.c), maka kedudukannya dinamakan trans atau repulsion phase.

Kedudukan gen berangkai harus tercerminkan pada notasi individu yang bersangkutan. Individu dihibrid AaBb, misalnya, ditulis sebagai AB/ab jika kedua gen tersebut berangkai dengan kedudukan sis, dan ditulis sebagai Ab/aB jika kedudukan berangkainya adalah trans. Jadi, penulisan AaBb hanya digunakan apabila kedua gen tersebut tidak berangkai.

Baik pada kedudukan sis maupun trans terdapat dua macam gamet, yang masing-masing disebut sebagai gamet tipe parental dan gamet tipe rekombinasi. Gamet tipe parental mempunyai susunan gen yang sama dengan susunan gen pada individu, sedang gamet tipe rekombinasi susunan gennya merupakan rekombinasi susunan gen pada individu. Jadi, individu dihibrid AaBb akan menghasilkan gamet tipe parental AB dan ab serta gamet tipe rekombinasi Ab dan aB jika kedua gen tersebut berangkai dengan kedudukan sis. Kebalikannya, jika kedua gen tersebut berangkai dengan kedudukan trans, maka gamet tipe parentalnya adalah Ab dan aB sementara gamet tipe rekombinasinya adalah AB dan ab.

Gamet tipe parental jumlahnya selalu lebih besar atau setidak-tidaknya sama dengan jumlah gamet tipe rekombinasi. Dengan perkataan lain, gamet tipe parental jumlahnya berkisar dari 50% hingga 100%, sedang gamet tipe rekombinasi berkisar dari 0% hingga 50%. Jika gamet tipe parental sama banyaknya dengan gamet tipe rekombinasi (masing-masing 50% atau nisbah gamet = 1 : 1 : 1 : 1), maka hal ini berarti kedua gen tidak berangkai. Sebaliknya, jika semua gamet yang ada merupakan gamet tipe parental, atau dengan perkataan lain sama sekali tidak terdapat gamet tipe rekombinasi, maka kedua gen dikatakan mempunyai loki (tempat gen pada kromosom) yang sangat berdekatan.

Besar kecilnya jumlah, atau persentase, gamet tipe rekombinasi oleh A.H. Sturtevant digunakan untuk menggambarkan jarak fisik antara dua gen berangkai. Setiap satuan peta ditetapkan sebagai jarak antara dua gen berangkai yang dapat menghasilkan gamet tipe rekombinasi sebanyak 1%. Makin panjang jarak antara dua gen berangkai, makin besar persentase gamet tipe rekombinasi yang dihasilkan. Sebagai contoh, jika suatu individu dihibrid dengan gen-gen yang berangkai menghasilkan gamet tipe parental sebanyak 80% atau gamet tipe rekombinasi sebanyak 20%, maka jarak antara kedua gen berangkai tersebut dikatakan sama dengan 20% atau 20 satuan peta atau 20 Morgan.

Sebenarnya hubungan linier antara jarak dua gen berangkai dan persentase gamet tipe rekombinasi hanya berlaku lebih kurang hingga nilai 20%. Di atas nilai ini peningkatan jarak tidak terus-menerus diikuti oleh peningkatan persentase gamet tipe rekombinasi. Seperti telah dijelaskan, gamet tipe rekombinasi jumlahnya paling banyak hanya 50%. Di sisi lain jarak antara dua gen berangkai dapat mencapai lebih dari 100%, misalnya jarak terpanjang antara dua gen berangkai pada kromosom 1 tanaman jagung yang mencapai 161%.

Pindah Silang

Telah disebutkan bahwa dua buah gen yang berangkai akan cenderung untuk tetap bersama-sama di dalam gamet yang terbentuk. Akan tetapi, di antara keduanya masih terdapat pula kemungkinan untuk mengalami segregasi dan rekombinasi sehingga akan diperoleh kombinasi gen-gen seperti yang dijumpai pada gamet tipe rekombinasi. Terjadinya segregasi dan rekombinasi dua buah gen berangkai ini tidak lain karena mereka mengalami peristiwa yang dinamakan pindah silang (crossing over), yaitu pertukaran materi genetik (gen) di antara kromosom-kromosom homolog.

Dari pengertian pindah silang tersebut kita dapat menyederhanakan batasan tentang gamet tipe parental dan gamet tipe rekombinasi. Di atas telah dikatakan bahwa gamet tipe parental adalah gamet dengan susunan gen yang sama dengan susunan gen pada individu, sedang gamet tipe rekombinasi adalah gamet yang susunan gennya merupakan rekombinasi susunan gen pada individu. Sekarang dengan lebih mudah dapat kita katakan bahwa gamet tipe parental adalah gamet bukan hasil pindah silang, sedang gamet tipe rekombinasi adalah gamet hasil pindah silang.

Peristiwa pindah silang, bersama-sama dengan pemilihan bebas (hukum Mendel II), merupakan mekanisme penting yang mendasari pembentukan keanekaragaman genetik karena kedua-duanya akan menghasilkan kombinasi baru di antara gen-gen yang terdapat pada individu sebelumnya. Selanjutnya, seleksi alam akan bekerja untuk mempertahankan genotipe-genotipe dengan kombinasi gen yang adaptif saja. Oleh karena itulah, banyak ilmuwan yang menganggap bahwa pindah silang dan pemilihan bebas sangat penting bagi berlangsungnya proses evolusi.

Pindah silang terjadi pascaduplikasi kromosom

Pada profase I meiosis kedua kromosom homolog akan mengalami duplikasi menjadi empat buah kromatid (lihat Bab IV). Selanjutnya, keempat kromatid ini akan membentuk sinapsis yang dinamakan tetrad. Pada saat terbentuknya konfigurasi tetrad inilah pindah silang terjadi.

Bukti bahwa pindah silang terjadi sesudah kromosom homolog mengalami duplikasi diperoleh dari hasil analisis genetik pada percobaan menggunakan kapang Neurospora crassa. Kapang ini sangat cocok untuk keperluan analisis genetik terutama karena dalam fase reproduksi aseksualnya terdapat askosopra haploid yang akan mengalami pembelahan mitosis sehingga berkecambah dan tumbuh menjadi miselium multisel yang juga haploid. Dengan adanya miselium haploid inilah, keberadaan gen-gen resesif dapat dideteksi karena ekspresinya tidak tertutup oleh gen dominan.

Secara skema bukti yang menujukkan bahwa pindah silang terjadi pascaduplikasi kromosom dapat dilihat pada Gambar 5.2 di bawah ini.

Pola askus

 

 

A    b

A     B              A          b                  A     b              A     b                          100%

a      b                                                                                                          rekom-

a           B                  a     B              a     B                         binasi

a     B

 

 

 

Meiosis I                                        Meiosis II,

Mitosis

a)

 

Pola askus

 

parental

A     B             A    B               A    B

A     B              A    B             A     b               A     b                         rekombinasi

a      b

a     b              a     B               a     B

a     b              a      b               a      b

parental

 

 

 

Meiosis I                                Meiosis II,

Mitosis

b)

Gambar 5.2. Hasil pindah silang dilihat dari pola askus pada

Neurospora crassa

Pada Gambar 5.2.a) pindah silang terjadi sebelum kromosom mengalami duplikasi. Ternyata dilihat dari kedelapan askospora hasil pembelahan mitosis gamet dapat dipastikan bahwa keempat gamet yang dihasilkan seluruhnya merupakan gamet tipe rekombinasi atau sama sekali tidak ada gamet tipe parental. Hal ini jelas sesuatu yang tidak mungkin terjadi karena dari penjelasan sebelumnya kita mengetahui bahwa persentase gamet tipe rekombinasi berkisar dari 0 hingga 50%.

Sebaliknya, pada Gambar 5.2.b) pindah silang terjadi sesudah kromosom mengalami duplikasi. Tampak bahwa kedelapan askospora yang terbentuk terdiri atas dua macam, yaitu askospora yang berasal dari gamet tipe parental dan askosopra yang berasal dari gamet tipe rekombinasi. Di antara askospora tipe parental masih dapat dibedakan lagi askopora dari parental pertama (AB) dengan askospora dari parental kedua (ab). Oleh karena kemungkinan pada Gambar 5.2.b) ini masuk akal, maka dapat disimpulkan bahwa pindah silang terjadi setelah kromosom mengalami duplikasi.

Persentase pindah silang menggambarkan jarak antara dua gen berangkai

Peristiwa pindah silang akan menyebabkan terbentuknya gamet tipe rekombinasi, atau seperti disebutkan di atas, gamet tipe rekombinasi merupakan gamet hasil pindah silang. Sementara itu, persentase gamet tipe rekombinasi sampai dengan batas tertentu (lebih kurang 20%) memperlihatkan korelasi positif dengan jarak fisik antara dua gen berangkai. Dengan demikian, besarnya persentase pindah silang juga menggambarkan jarak fisik antara dua gen berangkai.

Tiga Gen Berangkai

Di antara tiga buah gen berangkai, misalnya gen-gen dengan urutan A-B-C, dapat terjadi tiga kemungkinan pindah silang. Pertama, pindah silang terjadi antara A dan B atau pindah silang pada interval I.  Ke dua, pindah silang terjadi antara B dan C atau pindah silang pada interval II. Ke tiga, pindah silang terjadi antara A dan B sekaligus antara B dan C. Kemungkinan yang terakhir ini dinamakan pindah silang ganda (double crossing over).

Sesuai dengan banyaknya macam pindah silang yang terjadi, gamet tipe rekombinasi yang dihasilkan ada tiga macam, yaitu gamet tipe rekombinasi hasil pindah silang pada interval I, gamet tipe rekombinasi hasil pindah silang pada interval II, dan gamet tipe rekombinasi hasil pindah silang ganda.  Kalau kita misalkan bahwa kedudukan ketiga gen berangkai tersebut seperti pada Gambar 5.3,  maka gamet tipe rekombinasi yang dihasilkan adalah Abc dan aBC (hasil pindah silang I), ABc dan abC (hasil pindah silang II), serta AbC dan aBc (hasil pindah silang ganda). Selain itu, ada juga gamet tipe parental, yaitu ABC dan abc.

A                    B                                              C

a                     b                                               c

interval I                      interval II

 

 

 

A                    B                                              C

A                    B                                              C

 

a                      b                                               c

a                      b                                               c

 

 

 

A                    B                                              C

A                    b                                              C

 

a                     B                                               c

a                      b                                               c

 

Gambar 5.3. Pindah silang di antara tiga gen berangkai

Dari delapan macam gamet yang dihasilkan tersebut, gamet tipe parental dengan sendirinya paling besar persentasenya, sedang gamet yang paling kecil persentasenya adalah gamet tipe rekombinasi hasil pindah silang ganda. Bagaimana dengan gamet hasil pindah silang I dan gamet hasil pindah silang II ? Mana di antara kedua kelompok gamet tipe rekombinasi tersebut yang lebih besar persentasenya ? Jawabannya tentu saja bergantung kepada besarnya jarak A-B dan jarak B-C. Jika A-B lebih panjang daripada B-C, maka gamet hasil pindah silang I lebih banyak daripada gamet hasil pindah silang II. Begitu pula sebaliknya, gamet hasil pindah silang II akan dijumpai lebih banyak daripada gamet hasil pindah silang I jika jarak B-C lebih panjang daripada jarak A-B.

Silang Uji Tiga Titik

Silang uji, seperti telah dijelaskan pada Bab II, adalah persilangan suatu individu dengan individu homozigot resesif. Silang uji terhadap individu trihibrid dinamakan silang uji tiga titik (three-point test cross). Sebagai contoh, individu trihibrid AaBbCc disilang uji dengan aabbcc. Jika di antara ketiga gen tersebut tidak ada yang berangkai, maka hasil persilangannnya ada delapan macam fenotipe, yaitu A-B-C-, A-B-cc, A-bbC-, aaB-C-, A-bbcc, aaB-cc, aabbC-, dan aabbcc, dengan nisbah 1 : 1 : 1 : 1 : 1 : 1 : 1 : 1.

Namun, jika gen A berangkai dengan gen B dan gen C, maka nisbah fenotipe yang dihasilkan tidak akan sama tetapi bergantung kepada jumlah tiap macam gamet individu trihibrid tersebut. Seperti pada penjelasan Gambar 5.3, gamet dari individu ABC/abc dapat dibagi menjadi empat kelompok. Kelompok pertama adalah gamet tipe parental (ABC dan abc), kelompok ke dua gamet hasil pindah silang di daerah I (Abc dan aBC), kelompok ke tiga gamet pindah silang di daerah II (ABc dan abC), dan kelompok ke empat gamet hasil pindah silang ganda (AbC dan aBc). Sementara itu, dari individu homozigot resesif aabbcc (abc/abc) hanya akan dihasilkan satu macam gamet, yakni abc, karena baik gamet tipe parental maupun rekombinasi akan mempunyai susunan gen yang sama. Dengan demikian, fenotipe sekaligus genotipe hasil silang ujinya akan ada empat kelompok, yang masing-masing terdiri atas dua macam fenotipe, sesuai dengan nisbah gamet individu ABC/abc.

ABC/abc

tipe parental (persentasenya terbesar)

abc/abc

Abc/abc

tipe rekombinasi hasil pindah silang antara A dan B

(persentasenya bergantung kepada posisi lokus B)

aBC/abc

ABc/abc

tipe rekombinasi hasil pindah silang antara B dan C

(persentasenya bergantung kepada posisi lokus B)

abC/abc

AbC/abc

tipe rekombinasi hasil pindah silang ganda (persentasenya terkecil)

aBc/abc

Salah satu kromosom homolog pada tiap fenotipe/genotipe hasil silang uji tersebut di atas selalu membawa gen-gen dengan susunan yang sama, yaitu abc. Oleh karena itu, biasanya notasi fenotipe/genotipe individu hasil silang uji untuk gen-gen berangkai sama dengan notasi untuk gametnya masing-masing. Jadi, individu ABC/abc, misalnya, cukup ditulis dengan ABC. Begitu juga untuk ketujuh genotipe lainnya penulisannya cukup seperti notasi gametnya saja.

Pemetaan Kromosom

Data hasil silang uji tiga titik dapat dimanfaatkan untuk membuat peta kromosom. Di dalam peta kromosom tiap kromosom disebut sebagai satu kelompok gen berangkai (linkage group), yang terdiri atas sederetan gen-gen dengan urutan dan jarak tertentu. Dengan demikian, pada prinsipnya pembuatan peta kromosom meliputi penentuan urutan gen pada satu kromosom dan penghitungan jarak antara gen yang satu dan lainnya.  Sebagai contoh, pada lalat Drosophila melanogaster telah ditemukan adanya empat kelompok gen berangkai seperti dapat dilihat pada Gambar 5.4.

Langkah-langkah untuk membuat peta kromosom dari data hasil silang uji dapat dijelaskan dengan contoh berikut ini.

ABC = 265             AbC = 6              Abc = 435                abC = 139

ABc = 133              aBC = 441           aBc = 4                    abc = 227

Untuk menentukan urutan gen yang benar pertama-tama kita cari individu tipe parental di antara kedelapan genotipe tersebut, yaitu dua individu yang persentase atau jumlahnya terbesar (aBC dan Abc). Keduanya dipasangkan menjadi aBC/Abc. Kemudian, kita cari individu hasil pindah silang ganda, yaitu dua individu yang jumlahnya terkecil (AbC dan aBc). Ini juga kita pasangkan menjadi AbC/aBc.

Individu parental disimulasi untuk mengalami pindah silang ganda (psg). Artinya, aBC/Abc disimulasi untuk mengalami psg menjadi abC/ABc. Setelah hasil simuasi ini dicocokkan dengan individu psg yang ada ternyata susunan gennya tidak sama (abC/ABc tidak sama dengan AbC/aBc). Oleh karena itu, individu parental harus kita ubah urutan gennya, misalnya menjadi BaC/bAc. Jika individu ini mengalami psg, maka akan diperoleh BAC/bac, yang ternyata masih belum cocok juga dengan AbC/aBc. Alternatif ke tiga (terakhir) adalah mengubah urutan gen pada individu parental menjadi aCB/Acb. Individu parental dengan urutan gen seperti ini (lokus C di tengah) jika mengalami psg akan menjadi acB/ACb, yang ternyata cocok dengan AbC/aBc. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa urutan loki gen yang benar adalah A-C-B atau B-C-A.

0         y (yellow body)            0        net (net wings)               0        ru (roughoid eyes)     0      ci (cubitus interruptus eyes)

w (whirte eyes)                      S (Star eyes)                             R (Roughened eyes)           bt (bent wings)

N (Notch wings)                                                                                                        3       sv (shaven bristles)

ec (echinus eyes)                  Cy (Curly wings)                                                             IV

rb (ruby eyes)

bo (bordeaux eyes)               ed (echinoid eyes)                      fs(3) G2 (betina steril)

cv (crossveinless wings)       dp (dumpy wings)

ov (oval eyes)                       cl (clot eyes)

ct (cut wings)                        spd (spade wings)                      jv (javelin bristles)

sn (singed bristles)                lys (lysine accumulation)          Hn (Henna eyes)

 

t (tan body)                           tu-48 (abdominal tumors)          se (sepia eyes)

ras (raspberry eyes)              fy (fuzzy hairs)                          cur (curvoid wings)

m (miniature wings)             corr (corrugated wings)             rs (rose eyes)

wy (wavy wings)                  J (Jammed wings)                      Gl (Glued eyes)

g (garnet eyes)                                                                         st (scarlet eyes)

pl (pleated wings)                 b (black body)                           eg (eagle wings)

sd (scalloped wings)             rd (reduced bristles)                  cu (curly wings)

r (rudimentary wings)          stw (straw bristles)

B (Bar eyes)                         cn (cinnabar eyes)                      bx (bithorax body)

car (carnation eyes)             che (cherub wings)                     sr (stripe body)

 

bb (bobbed bristles)             vg (vestigial wings)                   Dl (Delta wings)

68                                                    U (Upturmed wings)                  e (ebony body)

I

c (curved wings)                        cd (cardinal eyes)

Amy (Amylase)                          obt (obtuse wings)

rf (roof wings)

nw (narrow wings)

 

dsr (disrupted wings)               Pr (Prickly bristles)

hy (humpy body)                    r sd (raised wings)

ra (rase britles)

a (arc wings)                             ca (claret eyes)

Frd (Freckled body)

M(2)c (Minute body)   106       M(3)g (Minute body)

108                                                    III

II

 

Gambar 5.4. Peta kromosom pada lalat Drosophila melanogaster

= sentromir

Kromosom I = kromosom kelamin

Mutan yang diawali dengan huruf besar = mutan dominan

Setelah urutan gen yang benar diketahui, data hasil silang uji tersebut di atas diubah urutan gennya sehingga menjadi

ACB = 265             ACb = 6              Acb = 435                aCb = 139

AcB = 133              aCB = 441           acB = 4                    acb = 227

Selanjutnya, kita dapat menghitung jarak antara dua gen berurutan (A-C dan C-B), yang masing-masing sama dengan persentase pindah silang di antara kedua gen yang diukur jaraknya (ingat ! besarnya persentase pindah silang menggambarkan jarak fisik antara dua gen berangkai). Jadi, jarak A-C sama dengan pindah silang antara A dan C, sedang jarak C-B sama dengan pindah silang antara C dan B.

Oleh karena individu parentalnya aCB/Acb, maka individu hasil pindah silang antara A dan C terdiri atas acb, ACB, acB, dan ACb.  Dengan demikian, jarak A-C = (227 + 265 + 4 + 6) / 1650 x 100% = 30,4%. Sementara itu, individu hasil pindah silang antara C dan B masing-masing aCb, AcB, acB, dan ACb, sehingga jarak C-B = (139 + 133 + 4 + 6) / 1650 x 100% = 17,1%.

A                                                          C                                B

30,4%                                      17,1%

Interferensi Kromosom

Pada contoh soal tersebut di atas terlihat bahwa banyaknya individu hasil pindah silang ganda ada (4 + 6) / 1650 x 100% = 0,6%. Nilai ini merupakan persentase pindah silang ganda yang benar-benar terjadi (psg O). Namun, seperti telah dijelaskan sebelumnya, pindah silang ganda adalah dua peristiwa pindah silang yang terjadi bersama-sama pada dua daerah yang berurutan. Seandainya kedua pindah silang ini benar-benar independen satu sama lain, maka secara teori besarnya persentase pindah silang ganda seharusnya sama dengan hasil kali masing-masing pindah silang (lihat teori peluang pada Bab II). Pada soal tersebut  di atas persentase pindah silang ganda yang diharapkan atau seharusnya terjadi (psg E) sama dengan 30,4% x 17,1% = 5,2%.

Biasanya psg O lebih kecil daripada psg E. Fenomena ini pertama kali ditemukan oleh H.J. Muller pada tahun 1916, dan dinamakan interferensi kromosom atau interferensi kiasma. Jadi, interferensi ini menunjukkan bahwa pindah silang di suatu tempat akan menghalangi terjadinya pindah silang di dekatnya.

Derajad interferensi secara kuantitatif diukur dengan suatu nilai yang disebut   koefisien koinsidensi (KK),  yang merupakan  nisbah psg O terhadap psg E. Nilai KK berkisar dari 0 hingga 1, dan pada contoh soal di atas nilai KK = 0,6% / 5,2% = 0,12. Nilai KK = 1 menggambarkan adanya independensi yang sempurna di antara dua peristiwa pindah silang yang berurutan sehingga psg O sama besarnya dengan psg E. Sebaliknya, nilai KK = 0 menunjukkan bahwa dua peristiwa pindah silang yang berurutan benar-benar saling menghalangi. Oleh karena itu, nilai KK berbanding terbalik dengan besarnya interferensi. Makin besar KK, kedua pindah silang makin independen sehingga makin kecil interferensinya.

Untuk menggambarkan derajad interferensi dapat pula digunakan koefisien interferensi (KI), yang nilainya sama dengan 1 – KK. Dengan demikian, nilai KI juga berkisar dari 0 hingga 1 tetapi berbanding lurus dengan besarnya interferensi. Artinya, makin besar KI, kedua pindah silang makin menghalangi satu sama lain atau makin besar interferensinya.

Pemetaan Kromosom pada Manusia

Pada manusia dengan sendirinya tidak dapat dilakukan pembuatan peta kromosom menggunakan data hasil silang uji. Oleh karena itu, diperlukan cara lain untuk dapat mengetahui susunan gen pada suatu kromosom tertentu. Cara yang paling lama dikenal adalah analisis silsilah keluarga dengan mengamati pola pewarisan suatu sifat.

Pada tahun 1960-an terjadi kemajuan yang pesat dalam pembuatan peta kromosom pada manusia berkat ditemukannya suatu teknik yang dikenal sebagai hibridisasi sel somatis. Sejalan dengan penemuan ini berkembang pula teknik sitologi yang memungkinkan dilakukannya identifikasi kromosom dan segmen kromosom manusia. Bahkan dewasa ini teknik DNA rekombinan dapat digunakan untuk isolasi dan identifikasi keberadaan masing-masing gen di dalam molekul DNA kromosom.

Teknik hibridisasi sel somatis pertama kali digunakan oleh G. Barski dan koleganya pada tahun 1960 untuk menggabungkan sel somatis mencit dengan sel somatis manusia secara in vitro. Penggabungan (fusi) sel ini berlangsung dengan tingkat keberhasilan yang sangat rendah, yaitu sekitar satu di antara sejuta sel. Namun, frekuensi fusi tersebut dapat ditingkatkan dengan penambahan sejenis virus, yakni virus Sendai, yang telah diinaktifkan dengan radiasi ultraviolet. Selain dengan virus Sendai, frekuensi fusi dapat juga ditingkatkan dengan pemberian bahan kimia polietilen glikol.

Sel hibrid yang terbentuk kemudian mengalami pembelahan mitosis sehingga dihasilkan sejumlah besar sel hibrid. Di antara sel-sel hibrid hasil mitosis ini selalu terjadi pengurangan jumlah kromosom manusia sementara jumlah kromosom mencitnya tetap. Dengan adanya variasi jumlah kromosom manusia pada sel hibrid, dapat ditentukan keberadaan gen tertentu pada suatu kromosom atas dasar aktivitas enzim yang dihasilkan.

Sebagai contoh, keberadaan gen yang mengatur sintesis enzim timidin  kinase dapat diketahui dari data seperti pada Tabel 5.1. Terlihat bahwa kromosom 17 merupakan satu-satunya kromosom yang keberadaannya berkorelasi positif dengan aktivitas timidin kinase. Dalam hal ini kromosom 17 selalu dijumpai pada setiap sel hibrid yang memperlihatkan aktivitas timidin kinase dan tidak dijumpai pada sel hibrid yang tidak memperlihatkan aktivitas enzim tersebut. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa gen yang mengatur sintesis timidin kinase terletak pada kromosom nomor 17. Cara yang sama digunakan untuk menentukan bahwa pada suatu kromosom terdapat gen-gen tertentu.

Tabel 5.1. Data hibridisasi sel somatis

Nomor

sel hibrid

Aktivitas timidin kinase

Kromosom manusia

(+ = ada; – = tidak ada)

X Y 1 2 4 7 9 10 15 17 18 21
1 aktif + + + + + + + +
2 aktif + + + + + + + +
3 aktif + + + + +
4 aktif + + + +
5 tidak aktif + + + +

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

10/31/2009 Posted by | Genetika Dasar | 5 Komentar

GENOM ORGANISME

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB III

GENOM ORGANISME

  • Pengertian Genom
  • Struktur Kromosom
  • Jumlah Kromosom

 

 

 

 

 

BAB III. GENOM ORGANISME

Analisis hasil percobaan persilangan yang dilakukan oleh Mendel telah memberikan pemahaman bahwa satuan-satuan herediter yang mengatur pemunculan sifat atau fenotipe individu bersifat diskrit (terpisah satu sama lain). Sebagai contoh, sifat tinggi tanaman kacang ercis diatur oleh pasangan gen D dan d, sedangkan bentuk bijinya diatur oleh pasangan gen W dan w. Demikian pula, sejumlah sifat lainnya diatur oleh pasangan-pasangan gen tersendiri. Jadi, masing-masing pasangan gen tersebut merupakan satuan-satuan herediter yang terpisah satu sama lain.

Meskipun demikian, ketika itu belum dapat diungkapkan mekanisme transmisi gen dari satu generasi ke generasi berikutnya. Dalam hukum Mendel I (segregasi) hanya disebutkan bahwa tiap pasangan gen akan dipisahkan ke dalam gamet-gamet yang terbentuk. Selanjutnya, rekombinasi gen akan berlangsung pada saat terjadi penggabungan gamet jantan dengan gamet betina melalui perkawinan. Begitu juga, hukum Mendel II (pemilihan bebas) hanya mengemukakan bahwa segregasi pasangan gen yang satu tidak bergantung kepada segregasi pasangan gen lainnya.

Beberapa tahun kemudian barulah diketahui bahwa gen terdapat di dalam struktur intranukeus yang dinamakan kromosom (chromo=warna ; soma=badan). Salah satu kelompok peneliti, T.H. Morgan dan koleganya, melalui studi pada lalat buah Drosophila melanogaster mengajukan konsep bahwa gen merupakan satuan-satuan diskrit (terpisah satu sama lain) di dalam kromosom.

Oleh karena gen terdapat di dalam kromosom, maka untuk mempelajari mekanisme transmisi gen perlu dilakukan pengamatan terhadap perilaku kromosom, khususnya selama berlangsungnya pembelahan sel (lihat Bab IV). Pada Bab III ini hanya akan dibahas sekilas kedudukan gen di dalam kromosom.

Pengertian Genom

Secara keseluruhan kumpulan gen-gen yang terdapat di dalam setiap sel individu organisme disebut sebagai genom. Dengan perkataan lain, genom suatu organisme adalah kumpulan semua gen yang dimiliki oleh organisme tersebut pada setiap selnya. Lalu bagaimanakah hubungan antara genom dan kromosom?

Organisme prokariot seperti bakteri diketahui hanya mempunyai sebuah kromosom yang tidak dikemas di dalam suatu nukleus sejati. Kromosom ini berbentuk lingkaran (sirkuler), dan semua gen tersusun di sepanjang lingkaran tersebut. Oleh karena itu, genom organisme prokariot dikatakan hanya terdiri atas sebuah kromosom tunggal (lihat juga Bab XII).

 

 

 

 

 

 

Gambar 3.1. Genom/kromosom prokariot

Berbeda dengan genom prokariot, genom eukariot tersusun dari beberapa buah kromosom. Tiap kromosom membawa sederetan gen tertentu. Selain itu, kromosom eukariot mempunyai bentuk linier. Posisi di dalam kromosom, baik pada prokariot maupun pada eukariot, yang ditempati oleh suatu gen disebut sebagai lokus (jamak: loki) bagi gen tersebut. Contoh deretan lokus sejumlah gen di dalam suatu kromosom eukariot dapat dilihat pada Gambar 5.4 (Bab V), yang menampilkan peta kromosom pada lalat D. melanogaster.

Genom Eukariot

Di atas telah disinggung bahwa genom eukariot terdiri atas beberapa buah kromosom. Jumlah kromosom dasar di dalam genom suatu organisme eukariot (biasa dilambangkan dengan n) dikatakan sebagai jumlah kromosom haploid (lihat juga Bab VII). Sel-sel kelamin (gamet) pada manusia merupakan contoh sel yang mempunyai seperangkat kromosom haploid, atau berarti hanya mempunyai sebuah genom. Sementara itu, sel-sel lainnya (sel somatis) hampir selalu mempunyai dua buah genom, atau dikatakan mempunyai genom diploid.

Jumlah kromosom dasar di dalam genom haploid pada umumnya berbeda-beda antara satu spesies dan spesies lainnya. Namun, jumlah kromosom ini tidak ada kaitannya dengan ukuran atau kompleksitas biologi suatu organisme. Kebanyakan spesies mempunyai 10 hingga 40 buah kromosom di dalam genom haploidnya (Tabel 3.1). Muntjac, sejenis rusa kecil dari Asia, hanya mempunyai tiga buah kromosom, sedangkan beberapa spesies paku-pakuan diketahui mempunyai beratus-ratus kromosom di dalam genom haploidnya.

 

 

Tabel 3.1. Jumlah kromosom pada genom haploid beberapa spesies

organisme eukariot

Spesies organisme

Jumlah kromosom haploid (n)
Eukariot sederhana

 

Saccharomyces cerevisiae 16
Neurospora crassa 7
Chlamydomonas reinhardtii 17
Tumbuhan

 

Zea mays 10
Triticum aestivum 21
Lycopersicon esculentum 12
Vicia faba 6
Sequoia sempivirens 11
Arabidopsis thaliana 5
Hewan avertebrata

 

Drosophila melanogaster 4
Anopheles culicifacies 3
Asterias forbesi 18
Caenorhabditis elegans 6
Mytilus edulis 14
Hewan vertebrate

 

Esox lucius 25
Xenopus laevis 17
Gallus domesticus 39
Mus musculus 20
Felis domesticus 36
Pan tryglodites 24
Homo sapiens 23

 

Pada organisme diploid kedua genom akan berpasangan pada setiap kromosom yang sesuai. Artinya, kromosom nomor 1 dari genom pertama akan berpasangan dengan kromosom nomor 1 pula dari genom kedua. Demikian seterusnya hingga pasangan kromosom yang ke-n. Kromosom-kromosom yang berpasangan ini dinamakan kromosom homolog.

Dengan adanya kromosom-kromosom homolog, tiap gen yang terletak pada lokus tertentu di dalam suatu kromosom dapat berpasangan dengan gen yang sesuai pada kromosom homolognya. Sebagai contoh, gen A (dominan) pada suatu kromosom dapat berpasangan dengan gen A pada kromosom homolognya sehingga terbentuk genotipe homozigot dominan untuk lokus tersebut. Jika pada kromosom yang satu terdapat gen A dan pada kromosom homolognya terdapat gen a, maka akan diperoleh genotipe heterozigot. Demikian pula, jika pada kedua kromosom homolog gen a berpasangan dengan gen a, maka akan didapatkan genotipe homozigot resesif.

Klasifikasi struktur kromosom eukariot

Kromosom eukariot, yang telah kita ketahui berbentuk linier, ternyata dapat dikelompokkan menurut kedudukan sentromirnya. Sentromir adalah suatu daerah pada kromosom yang merupakan tempat melekatnya benang-benang spindel dari sentriol selama berlangsungnya pembelahan sel (Bab IV). Dilihat dari kedudukan sentromirnya, dikenal ada tiga macam struktur kromosom eukariot, yaitu metasentrik, submetasentrik, dan akrosentrik. Struktur kromosom ini dapat dilihat dengan jelas ketika pembelahan sel berada pada tahap anafase.

s

 

 

s                                       s

a)                                      b)                                        c)

Gambar 3.2. Struktur kromosom pada anafase

a) metasentrik   b) submetasentrik   c) akrosentrik

s = sentromir

Pada metasentrik kedudukan sentromir lebih kurang berada di tengah-tengah kromosom sehingga memberikan kenampakan kromosom seperti huruf V. Oleh karena itu, bentuk metasentrik ini menghasilkan dua lengan kromosom yang kira-kira sama panjangnya. Pada bentuk submetasentrik sentromir terletak di antara tengah dan ujung kromosom sehingga memberikan kenampakan kromosom seperti huruf J. Bentuk submetasentrik menghasilkan dua lengan kromosom yang tidak sama panjangnya. Lengan yang panjang biasanya dilambangkan dengan huruf q, sedang lengan yang pendek p. Bentuk yang ketiga, akrosentrik, dijumpai apabila sentromir terletak hampir di ujung kromosom sehingga memberikan kenampakan kromosom seperti huruf I, dan kedua lengan kromosom semakin jelas beda panjangnya.

Klasifikasi struktur kromosom menjadi metasentrik, submetasentrik, dan akrosentrik tadi sebenarnya agak dipaksakan. Akan tetapi, istilah-sitilah tersebut sangat berguna untuk memberikan gambaran fisik tentang kromosom. Terlebih penting lagi, evolusi kromosom sering kali cenderung mempertahankan jumlah lengan kromosom tanpa mempertahankan jumlah kromosom. Sebagai contoh, lalat Drosophila melanogaster mempunyai dua buah autosom metasentrik yang besar sementara banyak spesies Drosophila lainnya mempunyai empat autosom akrosentrik yang kecil. Autosom adalah kromosom yang bentuknya sama pada kedua jenis kelamin (Bab VI). Jika peta kromosom kedua kelompok Drosophila ini dibandingkan, akan nampak bahwa tiap lengan kromosom metasentrik pada D. melanogaster sesuai dengan lengan panjang kromosom akrosentrik pada Drosophila lainnya itu. Demikian juga, simpanse dan manusia sama-sama mempunyai 22 pasang autosom yang secara morfologi sangat mirip. Akan tetapi, pada simpanse terdapat dua pasang autosom akrosentrik yang tidak ada pada manusia. Sebaliknya, manusia mempunyai sepasang autosom metasentrik yang tidak dimiliki oleh simpanse. Dalam hal ini, masing-masing lengan metasentrik pada manusia homolog dengan lengan panjang akrosentrik pada simpanse.

Kromatid

Kromosom yang sedang mengalami pengandaan, yakni pada tahap S di dalam daur sel (lihat Bab IV), terdiri atas dua buah kromatid kembar (sister chromatids), yang satu sama lain dihubungkan pada daerah sentromir. Letak sentromir berbeda-beda, dan perbedaan letak ini dapat digunakan sebagai dasar untuk klasifikasi struktur kromosom seperti telah diuraikan di atas. Pada sentromir terdapat kinetokor, yaitu suatu protein struktural yang berperan dalam pergerakan kromosom selama berlangsungnya pembelahan sel.

Bahan penyusun kromosom adalah DNA (asam deoksiribonukleat) dan protein. Tiap kromatid membawa sebuah molekul DNA yang strukturnya berupa untai ganda (Bab IX) sehingga di dalam kedua kromatid terdapat dua molekul DNA. Pada Bab X akan dijelaskan bahwa bagian-bagian tertentu molekul DNA merupakan gen-gen yang mengekspresikan fenotipenya masing-masing sehingga DNA dapat juga dilihat sebagai materi genetik.

telomir

(ujung kromosom)

 

sentromir

(konstriksi primer)

 

kinetokor

 

kromatid kembar

(sister chromatids)

 

 

a)                                           b)

Gambar 3.3. Gambaran umum struktur kromosom eukariot

yang sedang mengalami penggandaan

a) kromosom

b) molekul DNA

 

 

10/31/2009 Posted by | Genetika Dasar | 3 Komentar