BIOLOGI ONLINE

blog pendidikan biologi

Anemia megaloblastik

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Anemia berarti kekurangan sel darah merah, yang dapat disebabkan oleh hilangnya darah yang terlalu cepat atau karena terlalu lambatnya produksi sel darah merah. Pada anemia berat, viskositas darah dapat turun hingga 1,5 kali air, normalnya sekitar tiga kali air. Sehingga dapat disimpulkan bahwa konsentrasi sel darah merah mempengaruhi viskositas darah. Hal ini mengurangi tahanan

terhadap aliran darah dalam pembuluh perifer, sehingga jumlah darah yang mengalir melalui jaringan dan kemudian kembali lagi menuju ke jantung menjadi jauh lebih normal.

Bila penderita anemia mulai berkuat, jantung tidak mampu memompa jumlah darah lebih banyak daripada jumlah yang dipompa sebelumnya. Akibatnya selama keadaan anemia ini berkuat, dimana terjadi peningkatan kebutuhan jaringan akan oksigen, dapat timbul hipoksia jaringan yang serius dan sering terjadi gagal jantung yang akut.

Seseorang dikatakan anemia jika hematokritnya (persen eritrosit dalam darah) kurang dari 40. Adapun hematokrit normal adalah sekitar 40-60. Penderita anemia berat bisa tanpa gejala, tetapi penderita anemia ringan bisa sangat lemah. Hal ini dipengaruhi oleh empat faktor utama, yaitu cepat timbulnya anemia, derajat anemia, umur penderita dan kurva disosiasi oksigen hemoglobin.

Gejalanya antara lain sesak napas, lemah, mengantuk, palpitasi dan sakit kepala. Pada orang tua dapat ditemukan gejala penyakit jantung dan kebingungan. Melihat seriusnya akibat yang ditimbulkan oleh anemia, maka perlu diketahui berbagai hal tentang anemia. Salah satunya adalah klasifikasi anemia. Anemia dapat dibedakan berdasarkan morfologi dan sebab atau etiologinya. Klasifikasi morfologi berdasarkan bentuk dari eritrosit yang mengalami kelainan, sedangkan berdasarkan etiologi ditinjau penyebab terjadinya anemia.

1.2 Rumusan masalah

Apa penyebab penyakit anemia megaloblastik dan bagaimana cara penanganan akibat penyakit anemia itu sendiri?

1.3 Tujuan

a. Utuk mengetahui definisi penyakit anemia megaloblastik

b. Untuk mengetahui penyebab penyakit anemia megaloblastik

c. Untuk mengetahui cara pengobatan penyakit anemia megaloblastik

d. Untuk mengetahui klasifikasi penyakit anemia megaloblastik itu sendiri

BAB II

DATA ANALISA

2.1 Klasifikasi Penyakit Anemia Megaloblastik

Anemia dapat juga diklasifikasikan menurut etiologinya. Defisiensi defisiensi vitamin B12 dan defisiensi asam folat. Penyebab utama yang dipikirkan adalah

(1) meningkatnya kehilangan sel darah merah dan

(2) penurunan atau gangguan pembentukan sel.

Meningkatnya kehilangan sel darah merah dapat disebabkan oleh perdarahan atau oleh penghancuran sel. Perdarahan dapat disebabkan oleh trauma atau tukak, atau akibat pardarahan kronik karena polip pada kolon, penyakit-penyakit keganasan, hemoriod atau menstruasi. Penghancuran sel darah merah dalam sirkulasi, dikenal dengan nama hemolisis, terjadi bila gangguan pada sel darah merah itu sendiri yang memperpendek

Hidupnya atau karena perubahan lingkungan yang mengakibatkan penghancuran sel darah merah. Keadaan dimana sel darah merah itu sendiri terganggu adalah:

1. hemoglobinopati, yaitu hemoglobin abnormal yang diturunkan, misal nya anemia sel sabit

2. gangguan sintetis globin misalnya talasemia

3. gangguan membran sel darah merah misalnya sferositosis herediter

4.defisiensi enzim misalnya defisiensi G6PD (glukosa 6-fosfat dehidrogenase).

Malnutrisi, malabsorbsi, penurunan intrinsik faktor (aneia rnis st gastrektomi) infeksi parasit, penyakit usus dan keganasan, agen kemoterapeutik, infeksi cacing pita, makan ikan segar yang terinfeksi, pecandu alkohol.

Sintesis DNA terganggu

Gangguan maturasi inti sel darah merah

Megaloblas (eritroblas yang besar)

Eritrosit immatur dan hipofungsi

2.2 Deskripsi dan Gambar Penyakit Anemia Megaloblastik

Menurut (hoffbrand, pettit & moss 2005), anemia bersifat makrostik (MCV >95 fl dan sering mencapai 120-140 fl pada kasus berat) dan makrosit tersebut biasanya berbentuk oval. Perhitungan retikulosit memperlihatkan hasil yang rendah, dan jumlah leukosit serta trombosit total mungkin turun sedikit, khususnya pada pasien anemia berat. Suatu proporsi netrofil memperlihatkan adanya hipersegmentasi inti (dengan enam atau lebih lobus). Sumsum tulang biasanya hiperselular, dan eritroblas berukuran besar serta menujukan kegagalan pematangan inti dengan inti yang mempertahankan pola kromatin berlubang-lubang, halus dan berbercak, tetapi hemoglobinisasinya normal. Adanya metamielosit raksasa dan berbentuk abnormal adalah khas pada penyakit ini.

Bilirubin indirek, hidroksibutirat, dan laktat dehidrogenase (LDH) serum smeuanya meningkat akibat pemecahan sum-sum tulang.
Folat serum dan folat eritrosit rendah pada anemia megaloblastik yang disebakan oleh defisiensi folat. Pada defisiensi B12, folat serum cenderung meningkat, tetapi folat eritrosit menurun. Walaupun demikian, tanpa adanya defisiensi  B12, folat eritrosit adalah petunjuk folat dalam jaringan yang lebih akurat dibandingkan dengan folat serum (hoffbrand, pettit & moss 2005). Menurut (Soenarto 2001), kadar serum normal dari asam folat berkisar antara 6-20 ng/ml; nilai sama atau dibawah 4 ng/ml secara umum dipertimbangkan untuk diagnostik dari deefisiensi folat.

05/21/2011 Posted by | Uncategorized | Tinggalkan komentar

”KASUS YANG BERHUBUNGAN DENGAN PEMECAHAN DILEMA ETIK”

Pemecahan Dilema Etik dalam Kasus Penderitaan Klien dan Euthanasia Pasif

KASUS :

Seorang wanita berumur 50 tahun menderita penyakit kanker payudara terminal dengan metastase yang telah resisten terhadap tindakan kemoterapi dan radiasi. Wanita tersebut mengalami nyeri tulang yang hebat dimana sudah tidak dapat lagi diatasi dengan pemberian dosis morphin intravena. Hal itu ditunjukkan dengan adanya rintihan ketika istirahat dan nyeri bertambah hebat saat wanita itu mengubah posisinya. Walapun klien tampak bisa tidur namun ia sering meminta diberikan obat analgesik, dan keluarganya pun meminta untuk dilakukan penambahan dosis pemberian obat analgesik. Saat dilakukan diskusi perawat disimpulkan bahwa penambahan obat analgesik dapat mempercepat kematian klien.

Kasus di atas merupakan salah satu contoh masalah dilema etik (ethical dilemma). Dilema etik merupakan suatu masalah yang sulit dimana tidak ada alternatif yang memuaskan atau suatu situasi dimana alternatif yang memuaskan dan tidak memuaskan sebanding. Dalam dilema etik tidak ada yang benar atau salah. Untuk membuat keputusan yang etis, seseorang harus tergantung pada pemikiran yang rasional dan bukan emosional. Kerangkan pemecahan dilema etik banyak diutarakan dan pada dasarnya menggunakan kerangka proses keperawatan / pemecahan masalah secara ilmiah (Thompson & Thompson, 1985).

Kozier et. al (2004) menjelaskan kerangka pemecahan dilema etik sebagai berikut :

  1. Mengembangkan data dasar

  2. Mengidentifikasi konflik

  3. Membuat tindakan alternatif tentang rangkaian tindakan yang direncanakan dan mempertimbangkan hasil akhir atau konsekuensi tindakan tersebut

  4. Menentukan siapa pengambil keputusan yang tepat

  5. Mendefinisikan kewajiban perawat

  6. Membuat keputusan

PEMECAHAN KASUS DILEMA ETIK
1. Mengembangkan data dasar :

a. Orang yang terlibat : Klien, keluarga klien, dokter, dan perawat
b.Tindakan yang diusulkan : tidak menuruti keinginan klien untuk memberikan penambahan dosis morphin.
c.Maksud dari tindakan tersebut : agar tidak membahayakan diri klien
d.Konsekuensi tindakan yang diusulkan, bila tidak diberikan penambahan dosis morphin, klien dan keluarganya menyalahkan perawat dan apabila keluarga klien kecewa terhadap pelayanan di bangsal mereka bisa menuntut ke rumah sakit.

2. Mengidentifikasi konflik akibat situasi tersebut :
Penderitaan klien dengan kanker payudara yang sudah mengalami metastase mengeluh nyeri yang tidak berkurang dengan dosis morphin yang telah ditetapkan. Klien meminta penambahan dosis pemberian morphin untuk mengurangi keluhan nyerinya. Keluarga mendukung keinginan klien agar terbebas dari keluhan nyeri. Konflik yang terjadi adalah :
a.Penambahan dosis pemberian morphin dapat mempercepat kematian klien.
b.Tidak memenuhi keinginan klien terkait dengan pelanggaran hak klien.

3.Tindakan alternatif tentang rangkaian tindakan yang direncanakan dan konsekuensi tindakan tersebut

a. Tidak menuruti keinginan pasien tentang penambahan dosis obat pengurang nyeri.
Konsekuensi :
1)Tidak mempercepat kematian klien
2)Keluhan nyeri pada klien akan tetap berlangsung
3)Pelanggaran terhadap hak pasien untuk menentukan nasibnya sendiri
4)Keluarga dan pasien cemas dengan situasi tersebut
b. Tidak menuruti keinginan klien, dan perawat membantu untuk manajemen nyeri.
Konsekuensi :
1)Tidak mempercepat kematian pasien
2)Klien dibawa pada kondisi untuk beradaptasi pada nyerinya (meningkatkan ambang nyeri)
3)Keinginan klien untuk menentukan nasibnya sendiri tidak terpenuhi
c. Menuruti keinginan klien untuk menambah dosis morphin namun tidak sering dan apabila diperlukan. Artinya penambahan diberikan kadang-kadang pada saat tertentu misalnya pada malam hari agar klien bisa tidur cukup.

Konsekuensi :
1) Risiko mempercepat kematian klien sedikit dapat dikurangi
2) Klien pada saat tertentu bisa merasakan terbebas dari nyeri sehingga ia dapat cukup beristirahat.
3) Hak klien sebagian dapat terpenuhi.
4) Kecemasan pada klien dan keluarganya dapat sedikit dikurangi.

4. Menentukan siapa pengambil keputusan yang tepat :
Pada kasus di atas dokter adalah pihak yang membuat keputusan, karena dokterlah yang secara legal dapat memberikan ijin penambahan dosis morphin. Namun hal ini perlu didiskusikan dengan klien dan keluarganya mengenai efek samping yang dapat ditimbulkan dari penambahan dosis tersebut. Perawat membantu klien dan keluarga klien dalam membuat keputusan bagi dirinya. Perawat selalu mendampingi pasien dan terlibat langsung dalam asuhan keperawatan yang dapat mengobservasi mengenai respon nyeri, kontrol emosi dan mekanisme koping klien, mengajarkan manajemen nyeri, sistem dukungan dari keluarga, dan lain-lain.

5. Mendefinisikan kewajiban perawat
a.Memfasilitasi klien dalam manajemen nyeri
b.Membantu proses adaptasi klien terhadap nyeri / meningkatkan ambang nyeri
c.Mengoptimalkan sistem dukungan
d.Membantu klien untuk menemukan mekanisme koping yang adaptif terhadap masalah yang sedang dihadapi
e.Membantu klien untuk lebih mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa sesuai dengan keyakinannya

6. Membuat keputusan
Dalam kasus di atas terdapat dua tindakan yang memiliki risiko dan konsekuensi masing-masing terhadap klien. Perawat dan dokter perlu mempertimbangkan pendekatan yang paling menguntungkan / paling tepat untuk klien. Namun upaya alternatif tindakan lain perlu dilakukan terlebih dahulu misalnya manajemen nyeri (relaksasi, pengalihan perhatian, atau meditasi) dan kemudian dievaluasi efektifitasnya. Apabila terbukti efektif diteruskan namun apabila alternatif tindakan tidak efektif maka keputusan yang sudah ditetapkan antara petugas kesehatan dan klien/ keluarganya akan dilaksanakan.

DISKUSI :

Suatu intervensi medis yang bertujuan untuk mengurangi penderitaan klien namun dapat mengakibatkan kematian klien atau membantu pasien bunuh diri disebut sebagai euthanasia aktif. Di Indonesia hal ini tidak dibenarkan menurut undang-undang, karena tujuan dari euthanasia aktif adalah mempermudah kematian klien. Sedangkan euthanasia pasif bertujuan untuk mengurangi rasa sakit dan penderitaan klien namun membiarkannya dapat berdampak pada kondisi klien yang lebih berat bahkan memiliki konsekuensi untuk mempercepat kematian klien. Walaupun sebagian besar nyeri pada kanker dapat ditatalaksanakan oleh petugas kesehatan profesional yang telah dilatih dengan manajemen nyeri, namun hal tersebut tidak dapat membantu sepenuhnya pada penderitaan klien tertentu. Upaya untuk mengurangi penderitaan nyeri klien mungkin akan mempercepat kematiannya, namun tujuan utama dari tindakan adalah untuk mengurangi nyeri dan penderitaan klien.

PRINSIP LEGAL DAN ETIK :

  1. Euthanasia (Yunani : kematian yang baik) dapat diklasifikasikan menjadi aktif atau pasif. Euthanasia aktif merupakan tindakan yang disengaja untuk menyebabkan kematian seseorang. Euthanasia pasif merupakan tindakan mengurangi ketetapan dosis pengobatan, penghilangan pengobatan sama sekali atau tindakan pendukung kehidupan lainnya yang dapat mempercepat kematian seseorang. Batas kedua tindakan tersebut kabur bahkan seringkali merupakan yang tidak relevan.

  2. Menurut teori mengenai tindakan yang mengakibatkan dua efek yang berbeda, diperbolehkan untuk menaikkan derajat/dosis pengobatan untuk mengurangi penderitaan nyeri klien sekalipun hal tersebut memiliki efek sekunder untuk mempercepat kematiannya.

  3. Prinsip kemanfaatan (beneficence) dan tidak merugikan orang lain (non maleficence) dapat dipertimbangkan dalam kasus ini. Mengurangi rasa nyeri klien merupakan tindakan yang bermanfaat, namun peningkatan dosis yang mempercepat kematian klien dapat dipandang sebagai tindakan yang berbahaya. Tidak melakukan tindakan adekuat untuk mengurangi rasa nyeri yang dapat membahayakan klien, dan tidak mempercepat kematian klien merupakan tindakan yang tepat (doing good).

DAFTAR PUSTAKA:

  • Kozier B., Erb G., Berman A., & Snyder S.J, (2004), Fundamentals of Nursing Concepts, Process and Practice 7th Ed., New Jersey: Pearson Education Line

  • Taylor C., Lilies C., & Lemone P. (1997), Fundamentals of Nursing, Philadelphia : Lippincott

05/21/2011 Posted by | Uncategorized | 1 Komentar

Potensi “DAJAMBI” Daun Jambu Biji (Psidium guajava L.) sebagai Bahan Kontrasepsi Alami pada Pria

  1. A.    JUDUL

Potensi “DAJAMBI” Daun Jambu Biji (Psidium guajava L.) sebagai Bahan Kontrasepsi Alami pada Pria

 

  1. B.     LATAR BELAKANG

Indonesia merupakan negara dengan jumlah penduduk terbanyak keempat di dunia setelah RRC, India dan Amerika Serikat laju pertumbuhan penduduk Indonesia memang cukup tinggi, yakni 2,6 juta jiwa per tahun. Tahun 2009 jumlah penduduk Indonesia ada sekitar 230,6 juta jiwa. Pada 2006 rata-rata angka kelahiran mencapai 2,6 anak per wanita subur. Angka tersebut tidak berubah pada 2007, sedangkan laju pertumbuhan penduduk rata-rata masih 2,6 juta jiwa per tahun. Jika tidak dilakukan tindakan pengendalian, 11 tahun lagi atau pada 2020 diperkirakan penduduk Indonesia akan mencapai 261 juta manusia.  (Purnomo, 2004).

Dalam menekan dan mengendalikan jumlah penduduk, maka pemerintah telah menggalakkan program keluarga berencana (KB) bagi pasangan suami istri usia subur. Selanjutnya untuk mensukseskan program tersebut diperlukan peran serta aktif dari suami istri tersebut. Pada saat ini, individu yang ikut serta dalam melaksanakan program KB mayoritas adalah para istri. Keikutsertaan para suami dalam melaksanakan KB masih sangat rendah yaitu sekitar 6% dari seluruh program KB. Rendahnya keikutsertaan  suami dalam program KB disebabkan masih terbatasnya pilihan kontrasepsi untuk suami atau kontrasepsi suami yang ada masih belum memberikan hasil yang memuaskan (Moeleok, 1990).

Suami merupakan fokus baru untuk program KB yang selama ini belum banyak diperhatikan. Sampai sekarang kontrasepsi untuk suami yang dianggap sudah mantap adalah kondom dan vasektomi. Namun penggunaan kondom sebagai alat kontrasepsi menimbulkan keluhan psikologik, sedangkan vasektomi walaupun merupakan kontrasepsi yang dapat diandalkan, seringkali menimbulkan efek samping yang permanen (irreversible), berupa kegagalan rekanalisasi. Apabila faktor akseptor yang menggunakan kontrasepsi tersebut ingin punya anak kembali, maka seringkali sulit dapat dilakukan rekanalisasi kembali. Alternatif lain dalam metode kontrasepsi untuk suami yaitu penggunaan hormon seperti dilakukan pada istri, tetapi cara ini pada suami dianggap belum memuaskan dan masih terus dilakukan penelitian kembali (Arsyad, 1988).

Badan kesehatan dunia (WHO) telah membentuk suatu kelompok kerja (POKJA) untuk mencari dan mengembangkan metode pengaturan kesuburan suami. Mandat yang diberikan kepada pokja tersebut adalah mengembangkan metode pengaturan kesuburan yang aman, efektif dan dapat diterima, serta memonitor keamanan dan keefektivitasannya. Salah satu strategi penelitian yang dilakukan oleh pokja WHO adalah mengembangkan kontrasepsi melalui bahan atau zat dari tumbuh-tumbuhan yang diduga mempunyai bahan aktif yang bersifat antifertilitas (Yurnadi dkk, 2001). Dalam mencari obat alternatif untuk kontrasepsi suami, sebaiknya tidak hanya terbatas pada kontrasepsi hormonal, tetapi juga pada tanaman yang diperkirakan mengandung zat antifertilitas. Berdasarkan kenyataan tersebut, salah satu alternatif yang digunakan dalam masyarakat adalah dengan pemberian daun jambu biji (Psidium guajava L.)  yang memberikan efek antifertilitas (Mursito, 2000).

Jambu biji ( Psidium guajava L.) merupakan tanaman yang termasuk famili Myrtaceae yang banyak tumbuh di Indonesia. Jambu biji adalah salah satu tumbuhan yang sudah lama dimanfaatkan oleh masyarakat, namun pemanfaatannya hanya sebatas pada buahnya untuk keperluan konsumsi karena mengandung vitamin C yang sangat tinggi, tetapi pemanfaatan daunnya hanya sebagian kecil saja yaitu sebagai obat anti diare, disentri, radang usus dan gangguan pencernaan karena mempunyai kandungan zat tanin sebagai astringent dan anti mikroba.

Selain berbagai kegunaan di atas daun jambu biji diduga memiliki zat aktif golongan steroid yang mempunyai daya spermicide. Bahan kimia yang terkandung dalam daun jambu biji diantaranya adalah Beta-sitosterol, alkaloid, saponin, flavonoid, tanin, eugenol, minyak atsiri dan berbagai senyawa lainya (Albana dkk, 1999).

Khasiat dari zat aktif yang terdapat dalam daun jambu biji seperti alkaloid, mempunyai fungsi menekan sekresi hormon reproduksi yang diperlukan untuk berlangsungnya proses spermatogenesis, minyak atsiri bekerja pada proses transportasi sperma yaitu dapat menggumpalkan sperma sehingga menurunkan motilitas dan daya hidup sperma, begitu juga dengan tanin fungsinya hampir sama dengan minyak atsiri yaitu dapat menggumpalkan semen. Sedangkan flavonoid dapat menghambat enzim aromatase yaitu enzim yang berfungsi mengkatalis konversi androgen menjadi estrogen yang akan meningkatkan hormon testosteron, yang mana tingginya konsentrasi hormon testosteron akan berumpan balik ke hipofisis yaitu tidak melepaskan FSH (Follicle Stimulating Hormon) dan LH (Luteinizing Hormon). Golongan steroid (Beta-sitosterol) yang merupakan derivat dari steroid merupakan prekursor dan hormon estrogen juga dapat menurunkan sekresi FSH dan pada sejumlah keadaan tertentu juga dapat menghambat LH (Wienarno & Sundari 1997). Duke (2003) menyatakan bahwa Beta-sitosterol yang terdapat dalam daun jambu biji berfungsi sebagai anti fertilitas, disamping itu Beta-sitosterol juga mempengaruhi spermycide (Duke’s, 2004).

Proses normal spermatogenesis diatur oleh sistem hormon FSH, LH dan testosteron. Jika sekesi FSH dan LH rendah maka proses spermatogenesis akan terganggu dan menyebabkan jumlah spermatozoa di bawah normal (Adimunca & Sutyarso, 1997).

Selain itu Susetyorini dari hasil penelitiannya dalam Bestari edisi 188 menyatakan bahwa alkaloid, flavonoid, tanin dan minyak atsiri dapat merusak beberapa oganel penyusun sel target yaitu sel sertoli, sel spermatogonium, sel spermatosit, dan sel spermatid.

Dari 74 tanaman yang tercatat secara empiris telah digunakan oleh masyarakat diberbagai daerah untuk obat anti fertilitas tradisional 18 diantaranya telah dilakukan uji anti spermatogenesisnya dan terbukti semua mempunyai sifat menghambat proses spermatgenesis. Apabila dikaitkan dengan senyawa aktif dari tanaman-tanaman ini tenyata banyak diantaranya mengandung zat alkaloid, tiavonoid, steroid, tanin dan minyak atsiri, yang mana semua zat-zat tersebut juga terkandung dalam daun jambu biji sehingga perlu dilakukan penelitian apakah senyawa-senyawa aktif yang terkandung dalam daun jambu biji tersebut juga mempunyai khasiat yang sama terhadap anti spermatogenesis sehingga dapat dijadikan alternatif sebagai obat anti fertilitas pada pria, dimana syarat dari obat anti fertilitas pria adalah memiliki daya hambat terhadap proses spermatogenesis, maturasi sperma, dan transportasi sperma (Sundari & Adimunca,1997).

Studi tentang khasiat zat aktif golongan steroid yang berasal dari jambu biji  (Psidium guajava L.) sebagai antifertilitas sudah mulai dikembangkan, namun di Indonesia belum banyak dipublikasikan. Oleh karena itu, peneliti sangat tertarik untuk melakukan penelitian mengenai penggunaan zat aktif golongan steroid yang berasal dari daun jambu biji biji  (Psidium guajava L.) sebagai bahan kontrasepsi alami bagi pria.

  1. RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang diatas maka dapat dirumuskan suatu permasalahan sebagai berikut:

  1. Apakah daun jambu biji (Psidium guajava L.) berpotensi  sebagai bahan kontrasepsi alami bagi pria?
  2.  Bagaimana mekanisme daun jambu biji (Psidium guajava L.) sebagai bahan kontrasepsi alami bagi pria?
  1. TUJUAN PENELITIAN

Adapun tujuan dalam penelitian ini adalah:

  1. Mengetahui potensi daun jambu biji (Psidium guajava L.) sebagai bahan kontrasepsi alami bagi pria.
  2. Mengetahui mekanisme daun jambu biji (Psidium guajava L.) sebagai bahan kontrasepsi alami bagi pria.
  1. LUARAN YANG DIHARAPKAN
  1. Menghasilkan artikel penelitian yang dapat digunakan sebagai bahan acuan dalam memilih kontrasepsi alami bagi pria.
  2. Hak paten kontrasepsi alami bagi pria yang berbahan dasar dari daun jambu biji (Psidium guajava L.).
  1. MANFAAT

Manfaat yang diharapkan dalam penelitian ini adalah:

  1. Secara Teoritis
    1. Memberikan penguatan konsep mata kuliah embriologi sebagai bentuk penerapan dalam bidang penelitian.
    2. Sebagai model terapan teori-teori  reproduksi yang diaplikasikan dalam bentuk kontrasepsi alami bagi pria.
    3. Secara Praktis
      1. Memberikan solusi kepada masyarakat khususnya kaum pria mengenai kontrasepsi alami yang berbahan dasar  daun jambu biji (Psidium guajava L.).
      2. Memberikan informasi kepada masyarakat serta dinas kesehatan bahwa daun jambu biji (Psidium guajava L.) berpotensi sebagai kontrasepsi alami bagi pria.
  1. TINJAUAN PUSTAKA

G.1 Daun Jambu Biji (Psidium guajava L.)  

Daun jambu biji (Psidium guajava L.)  berbau aromatik dan rasanya sepat. Daunnya merupakan daun tunggal yang  berwarna hijau keabuan, helai-helai daun berbentuk jorong sampai bulat memanjang, ujung daunnya meruncing sedangkan pangkal daunnya juga meruncing tetapi ada pula yang membulat, daun berukuran panjang  antara 6cm sampai 15cm dan lebar antara 3cm sampai 7,5cm sedangkan tangkainya kurang lebih 1cm. Daun berambut penutup pendek, tampak berbintik-bintik yang sesungguhnya merupakan rongga-rongga lisigen, warnanya gelap namun bila dalam keadaan terendam air menjadi tembus cahaya (Karta Sapoetra,1992).

Menurut pendapat Ris munandar (1989) daun, kulit batang, akar dan buah muda pada daun jambu biji mengandung zat psidi tanin sedangkan khusus daun jambu biji mengandung minyak atsiri, eugenol dan damar disamping zat-zat mineral lain yang banyak terdapat didalam buah.

Daun jambu biji mempunyai zat aktif diantaranya adalah minyak atsiri, alkaloid, flavonoid, tanin, dan pektin. Selain itu tanin juga dapat menyerap racun dan menggumpalkan protein. Dalam penelitian terhadap daun kering jambu biji yang digiling halus diketahui kandungan taninnya sampai 17,4%. Makin halus serbuk daunnya, makin tinggi kandungan taninnya, senyawa itu bekerja sebagai astrengent yaitu melapisi mukosa usus, khususnya usus besar (Winarno 1997).

Bagian daun (folium) mempunyai sifat khas manis, kelat dan menetralkan juga mempunyai kandungan kimia zat samak, minyak atsiri, tri terpenoid, leuko sianidin, kuersetin, asam arjunolat resin, dan minyak lemak (Anonymous, 2000).

Sedangkan menurut (Duke, 2004) tanaman jambu biji (Psidium guajava L.)  khususnya bagian daun mengandung berbagai zat aktif diantaranya adalah amritoside, aromadendren, avicularin, beta-sitosterol, calcium-oxalat, caryopphyllen-oxide, catechol-tannins, crataegolic acid, EO, guajiverin,  guaijaverin, guavin-a,b,c,d, guajivolic-acid, nerolidiol, oleanolic-acid, psidiolic-acid, quercetin, sugar, ursolic-acid, xantophyll, gallo catechin,ellagic-acid, fat, genticid-acid,  hyperocid, leucocyanidine, hyperocide, aslinic-acid.

Daun jambu biji (Psidium guajava L.) mengandung berbagai senyawa kimia  aktif diantaranya saponin, flavonoid, tri terpenoid, minyak atsiri (Menurut Ma’at & Albana), tanin, beta sitosterol dan senyawa-senyawa lainnya (Duke, 2004).

Berbagai zat yang terdapat dalam daun jambu biji seperti flavonoid menurut literatur dapat menghambat enzim aromatase yaitu enzim yang berfungsi mengkatalis konfersi androgen menjadi estrogen yang akan meningkatkan konsentrasi testosteron. Tingginya konsentrasi testosteron akan berumpan balik negatif ke hipofisis  yaitu tidak melepaskan FSH atau LH.

Golongan alkaloid dapat menekan sekresi hormon reproduksi yang diperlukan untuk berlangsungnya proses spermatogenesis. Golongan terpen dan minyak atsiri bekerja bukan pada proses spermatogenesisnya tetapi pada proses transportasi sperma yaitu dapat menggumpalkan sperma sehingga menurunkan motilitas dan daya hidup sperma, akibatnya sperma tidak dapat mencapai sel telur dan pembuahan dapat tercegah. Tanin kerjanya hampir sama dengan terpen yaitu dapat menggumpalkan semen. Sedangkan golongan steroid yang merupakan prekursor dan hormon estrogen yang salah satu kerjanya menurunkan sekresi FSH ,dan pada sejumlah keadaan tertentu  akan menghambat LH (Winarno & Sundari 1999).

Proses normal spermatogenesis diatur oleh sistem hormon (FSH, LH dan testosteron), yang pengendaliannya melalui poros hipotalamus-hipofisis-testis. FSH mempengaruhi sel sertoli dan sel spermatogenik untuk metabolisme normal; sel sertoli dibawah pengaruh FSH mensintesis protein pengikat androgen (ABP) yang berfungsi untuk mengikat testosteron, untuk selanjutnya digunakan dalam proses pembelahan dan pematangan spermatogonia menjadi spermatozoa. Adapun LH penting dalam mempengaruhi sel leydig memproduksi testosteron. Jika sekresi FSH ditekan oleh hipofisis maka konsentrasi FSH menjadi rendah dan akibatnya spermatogenesis dapat terganggu dan jumlah spermatozoa dibawah normal (Adimunca & Sutyarso 1997).

Secara normal FSH sangat diperlukan dalam proses spermatogenesis dan LH diperlukan untuk merangsang produksi testosteron. Jika FSH produksinya dihambat oleh steroid dalam hal ini adalah beta-sitosterol maka akan mengganggu spermatogenesis dan pada sejumlah keadaan tertentu galongan steroid juga dapat menghambat produksi LH (reaksi umpan balik)  sehingga spermatogenesis dapat terganggu.

G.2 Kontrasepsi Pria

Suami merupakan fokus baru untuk program KB yang belum mendapat perhatian. Keikutsertaan para suami dalam melaksanakan KB masih sangat rendah yaitu sekitar 6% dari seluruh program KB. Kontrasepsi untuk suami yang dianggap sudah mantap sampai saat ini  adalah kondom dan vasektomi. Namun penggunaan kondom sebagai alat kontrasepsi menimbulkan keluhan psikologik, sedangkan vasektomi walaupun kontrasepsi yang diandalkan, seringkali menimbulkan efek samping berupa kegagalan rekanalisasi. Rekanalisasi adalah pembukaan kembali pembuluh darah yang tersumbat (Anonymous, 2010). Apabila faktor akseptor yang menggunakan kontrasepsi tersebut ingin punya anak, maka seringkali sulit dapat dilakukan rekanalisasi kembali. Alternatif lain dalam metode kontrasepsi untuk suami yaitu penggunaan hormon seperti dilakukan pada istri, cara ini bisa menjadi alternatif bagi pria Indonesia, namun untuk bisa disebarluaskan kontrasepsi ini harus nyaman dan aman bagi pemakainya. (Winarso, 2003).

Penggunaan alat kontrasepsi di kalangan pria belum membudaya seperti halnya pada kaum perempuan, namun pemerintah berusaha keras untuk meningkatkan kesetaraan ini agar populasi penduduk Indonesia dapat kembali ditekan (Anonymous, 2006). Kontrasepsi pria sendiri ada bermacam-macam diantaranya adalah :

1.  Kontrasepsi Sterilisasi, yaitu pencegahan kehamilan dengan mengikat testis pada pria (vasektomi). Proses sterilisasi ini harus dilakukan oleh ginekolog (dokter kandungan). Efektif bila memang ingin melakukan pencegahan kehamilan secara permanen, misalnya karena faktor usia.

2. Kontrasepsi Teknik yaitu Coitus Interruptus  (senggama terputus) dimana ejakulasi dilakukan di luar vagina. Efektivitasnya 75-80%. Faktor kegagalan biasanya terjadi karena ada sperma yang sudah keluar sebelum ejakulasi, orgasme berulang atau terlambat menarik penis keluar.

3.  Kontrasepsi Mekanik

a. Kondom: Efektif 75-80%. Terbuat dari latex yang berfungsi sebagai pemblokir / barrier sperma. Kegagalan pada umumnya karena kondom tidak dipasang sejak permulaan senggama atau terlambat menarik penis setelah ejakulasi sehingga kondom terlepas dan cairan sperma tumpah di dalam vagina. Kekurangan metode ini: mudah robek bila tergores kuku atau benda tajam lain, membutuhkan waktu untuk pemasangan, mengurangi sensasi seksual

b. Spermatisida: bahan kimia aktif untuk ‘membunuh’ sperma, berbentuk cairan, krim atau tisu vagina yang harus dimasukkan ke dalam vagina 5 menit sebelum senggama. Efektivitasnya 70%. Sayangnya bisa menyebabkan reaksi alergi. Kegagalan sering terjadi karena waktu larut yang belum cukup, jumlah spermatisida yang digunakan terlalu sedikit atau vagina sudah dibilas dalam waktu < 6 jam setelah senggama (Anonymous, 2009).

G.3 Testis

Testis merupakan organ kelamin laki-laki tempat spermatozoa dan hormon laki-laki dibentuk. Testis menghasilkan hormon testosteron dan bekerja sebagai kelenjar endokrin. Hormon testosteron ini berfungsi untuk menentukan sifat-sifat kajantanan.

Contoh: Tumbuhnya jenggot dan jakun, suara yang membesar serta bentuk badan yang besar dan kuat.

Fungsi testis terdiri dari:

  1. Membentuk gamet-gamet baru yaitu spermatozoa, dilakukan di tubulus seminiferus.
  2. Menghasilkan hormon testosteron, dilakukan oleh sel interestial.

Kelenjar testis bentuknya seperti telur yang banyaknya 2 buah yang menghasilkan sel mani atau sperma. Dikirim melalui saluran yang terdapat dibelakang buah pelir dan melewati sebelah dalam, disebelah belakang saluran ini terdapat duktus deferens. Kelenjar testis menghasilkan hormon Follicle Stimulating Hormone (FSH) dan Lutenizing Hormone (LH). Disamping itu testis dapat menghasilkan hormon testosteron. Hormon testosteron ini disekresikan oleh testis, sebagian besar berkaitan dengan protein plasma. Beredar dalam darah 15-30 menit, kemudian disekresi.

Testosteron dihasilkan pada anak berusia 11-14 tahun. Pembentukan ini meningkat dengan cepat pada permulaan pubertas dan berlangsung  hampir seluruh kehidupan, berkurangnya kecepatan produksi setelah pria berumur 40 tahun. Pada umur 80 tahun pria menghasilkan testosteron lebih kurang 1/5 dari nilai puncak, sedangkan testosteron akan memuncak sekresinya oleh beberapa kelenjar sebasea yang pada wajah dapat menimbulkan jerawat yaitu merupakan gambaran yang paling sering pada pubertas.

H. METODE PENELITIAN

H.1 Populasi dan Sampel

Populasi

Populasi dalam penelitian ini adalah tikus putih jantan (Rattus norwegicus) dengan karakteristik mata warna merah jernih dan kulit bersih, umur 2,5-3 bulan dengan berat badan 250-300gr strain Wistar yang diperoleh dari UNAIR Surabaya.

Sampel

Sampel diambil dari populasi tikus putih (Rattus norvegicus) jantan sebagai hewan coba. Dalam penelitian ini terdapat 5 macam perlakuan, dimana untuk mendapatkan banyaknya ulangan pada masing-masing perlakuan ditentikan berdasarkan rumus (Hanafiah, 1993) yaitu:

(t-1)  (r-1) ³15

(5-1) (r-1) ³15

4 (r-1) ³15

r-1 ³ 3,75

r ³ 4,75  maka r ³ 5

Dimana:

t           : Treatment (perlakuan)

r           : Replikasi (ulangan)

Dari rumusan tersebut diperoleh jumlah hewan coba untuk masing-masing perlakuan adalah lebih besar sama dengan 5 (lima). Dalam penelitian ini digunakan 5 ekor hewan coba untuk masing-masing perlakuan karena dimungkinkan sangat kecil tikus putih mengalami kematian.

 

H.2 Variabel Penelitian

  1. Variabel Bebas

Pada penelitian ini variabel bebasnya adalah filtrat daun jambu biji (Psidium guajava L.).

  1. Variabel Terikat

Dalam penelitian  ini yang menjadi variabel terikatnya adalah jumlah sel spermatozoa penampang melintang  testis tikus putih jantan (Rattus norwegicus).

H.3 Jenis Penelitian

Dalam penelitian ini jenis penelitian yang digunakan adalah Eksperimen Sungguhan (True Experiment Research) karena dalam penelitian ini telah memenuhi tiga prinsip yaitu randomisasi, replikasi, dan adanya perlakuan kontrol atau pembanding. Menurut Rofieq (2002) eksperimen sungguhan merupakan suatu penelitian yang bertujuan untuk menyelidiki kemungkinan saling hubungan                                                                                                          sebab akibat dengan cara mengenakan satu atau lebih kelompok eksperimental dan membandingkan hasilnya dengan satu atau lebih kelompok kontrol yang tidak dikenai kondisi perlakuan itu.

Desain eksperimental sungguhan yang digunakan dalam penelitian ini adalah “The Postest-Only Control Group Design” yaitu didalam populasi setiap unit dari populasi adalah homogen yang artinya semua karakteristik antar unit populasi adalah sama maka tidak dilakukan pengukuran awal, semua kelompok perlakuan dianggap sama karena berasal dari satu populasi yang sama sehingga pengukuan variabel hanya dilakukan  pada akhir penelitian (post test) saja, tanpa ada pengukuran awal (pretest) tetapi hanya dilakukan “Control by Design” yaitu dengan menghomogenkan sampel penelitian. Rancangan ini dapat digambarkan:

O2

P1

K                O1

O3

P2

R

O4

O5

P3

P4

Keterangan:

R          = Randomisasi

K          = Kontrol atau banding

P1        = Perlakuan dosis dekok daun jambu biji  4gr

P2        = Perlakuan dosis dekok daun jambu biji  6gr

P3        = Perlakuan dosis dekok daun jambu biji  8gr

P4        = Perlakuan dosis dekok daun jambu biji  10gr

O1-O5  = Hasil penelitian

H.4 Analisa Data

Data Hasil Penelitian dianalisis dengan menggunakan Uji Chi-square karena data penelitian merupakan data diskrit dengan langkah-langkah sebagai berikut:

  1. Merumuskan Hipotesis nihil(Ho)
  2. Menentukan frekwensi ekspektasi (Ei)
  3. Menghitung X2 hitung dengan rumus:

c2 = å ( Oi – Ei )

Ei

Dimana:

c2 = Chi-kuadrat

Oi= Frekwensi yang diperoleh

Ei= Frekwensi yang diharapkan

H.5 Instrumen Pelaksanaan

Alat

Pembuatan dekok daun jambu biji:

–         Timbangan analitik (0,001 g)

–         Alat pemanas

–         Erlenmeyer 125 ml

–         Kertas saring Whatman 40

–         Labu ukur 100 ml

–         Corong kaca

–         Pengaduk (spatula)

Pembedahan dan pembuatan preparat testis

–         Seperangkat alat secsic seperti: pisau, gunting, jarum pentul, pinset,  skalpel, dan bak lilin

–         Gelas arloji

–         Botol flakon

–         Pipet tetes

–         Mikrotom

–         Oven

–         Jarum ose

–         Kaca benda dan kaca penutup

–         Mikroskop

–         Alat foto dan film Fuji

Bahan

Pembuatan dekok daun jambu biji

–         Daun jambu biji

–         Aquadest

Pengambilan testis

–         Kloroform untuk membius

–         Kapas

–         NaCl

–         Formalin 10%

–         Alumunium foil

Pembuatan preparat histologi testis

–         Testis tikus putih jantan

–         Alkohol 30%, 50%, 70%, 80%, 100%.

–         Xylol

–         Aquadest

–         Putih telur

–         Parafin

–         Enthellan

–         Pewarna H-E (Hematoxylin dan Eosin)

Cara Kerja

Proses adaptasi

Tikus putih jantan dimasukkan kedalam kandang plastik yang telah diberi sekam padi sebagai alas, dan di aklimatisasikan selama 2 minggu sebelum diberi perlakuan. Tikus putih jantan diberi makan (BR1) masing-masing 5 gr/ ekor setiap hari, sedangkan untuk minuman tikus putih jantan menghisap minuman aquadest yang sudah disediakan didalam botol.

Membuat Dekok Daun  Jambu Biji (Psidium guajava L.)

Cara membuat dekok:

–         Menimbang 1 kg bahan (daun jambu biji)

–         Mencuci bahan dengan air mengalir

–         Memotong  bahan (daun jambu biji) hingga kecil-kecil dan memasukkan kedalam erlenmeyer

–         Menambahkan aquadest kedalam bahan tersebut dengan perbandingan 1:1. Semisal jumlah bahan adalah 1000 gr maka ditambahkan aquadest sebanyak 1000 ml atau penambahan aquadest sampai bahan tersebut terendam.

–         Bahan dipanaskan dengan menggunakan api kecil sampai mendidih kemudian diaduk terus menerus sampai volume air berkurang sepertiga sampai separuh bagian kemudian disaring

–         Jika volume larutan masih melebihi volume yang seharusnya (1000 ml) maka dilakukan pemanasan selanjutnya hingga volume menjadi 1000 ml

–         Jika volume larutan kurang dari volume yang seharusnya (1000 ml) maka dilakukan penambahan dengan aquadest sampai volume menjadi 1000 ml. Dengan proses ini maka didapatkan dekok dengan konsentrasi 100%.

Pengambilan Testis dan pembuatan preparat

Fiksasi

–         Membius tikus dengan kloroform dan kapas kemudian menutup dengan alumunium foil

–         Membedah tikus mulai dari bagian bawah abdomen lalu mengambil organ testisnya

Pencucian

–         Mencuci dengan garam fisiologis (Nacl)

–         Memasukkan kedalam botol flakon dan memfiksasi dengan larutan fiksatif  formalin 50% selama 24 jam

–         Membuang larutan fiksatif formalin

Dehidrasi

–         Mendehidrasi dengan alkohol 50% selama 30 menit

–         Mendehidrasi dengan alkohol 70% selama 30 menit

–         Mendehidrasi dengan alkohol 80% selama 30 menit

–         Mendehidrasi dengan alkohol 100% selama 30 menit

–         Mendehidrasi dengan alkohol 100% selama 30 menit

Clering atau Penjernihan

–         Menetesi dengan alkohol : Xylol = 3:1 selama 30 menit

–         Menetesi dengan alkohol : Xylol = 1:1 selama 30 menit

–         Menetesi dengan alkohol : Xylol = 1:3 selama 30 menit

–         Menetesi dengan xylol murni 1 selama 30 menit

–         Menetesi dengan xylol murni 2 selama 30 menit

Inviltrasi

–         Menetesi xylol : parafin =1:9 selama 24 jam (diletakkan dalam oven suhu 60oC )

–         Mengganti dengan parafin murni selama 1 jam dalam oven suhu 60oC

Embeding (penanaman)

–         Parafin cair diletakkan kedalam cetakan berbentuk botol flakon (dibuat dari alumunium foil dalam bentuk botol flakon), kemudian testis dimasukkan kedalamnya dan posisi diatur sebaik mungkin, kemudian didinginkan hingga parafin membeku.

Trimming atau Pengeblokan Parafin

–         Testis dalam cetakan parafin dikepris menjadi potongan yang rapi agar mudah diiris dengan mikrotom.

Pemotongan

–         Testis dalam cetakan parafin dipotong dengan mikrotom ukuran 6 mikron

Mounting I

–         Sayatan hasil pemotongan dengan mikrotom diletakkan pada beaker glass kemudian potongan tersebut dimasukkan kedalam Water bath pada suhu 50oC sehingga parafin memapar, kemudian diletakkan pada gelas objek yang sudah diberi bahan perekat (campuran asam cuka albumin dan air) dan dikeringkan.

Deparafinisasi

–         Menetesi Xylol : alkohol = 3:1 selama 3 menit

–         Menetesi Xylol : alkohol = 1:1 selama 3 menit

–         Menetesi Xylol : alkohol = 1:3 selama 3 menit

Pewarnaan

–         Proses pewarnaan Hematoxylin 30 menit, cuci dengan air mengalir selama 5-10 menit, bilas dengan aquadest 2 kali masing-masing 3-5 detik.

–         Mewarnai dengan larutan 0,1 Eosin kemudian cuci dengan air mengalir selama 5 detik.

Dehidrasi

–         Mendehidasi dengan alkohol 50, 70, 90, absolud masing-masing selama 3 menit

–         Mendehidrasi dengan xylol I selama 3 menit

Mounting II

–         Xylol murni II selama 3 menit

–         Merekatkan dalam Canada balsam atau Enthellen dengan kaca penutup, kemudian dikeringkan

  1. I.                   JADWAL KEGIATAN

No

Jadwal Kegiatan

Bulan 1

Bulan 2

Bulan 3

1

2

3

4

1

2

3

4

1

2

3

4

1.

Persiapan alat

X

2.

Pengumpulan bahan

X

3.

Proses adaptasi tikus

X

4

Pelaksanaan penelitian

X

X

X

X

6.

Pembuatan sediaan histologis

X

7.

Analisa data

X

8.

Penyusunan laporan

X

X

9.

Presentasi hasil penelitian

X

J. RANCANGAN BIAYA

  1. Biaya bahan habis pakai

a. Daun Jambu Biji                                                         Rp. 30.000

b. Tikus @Rp. 50.000 x 30                                            Rp. 1.500.000

  1. Peralatan Penunjang PKM

a. Alat-alat untuk pembuatan preparat histologi            Rp. 1.000.000

b. Kertas, Tinta, alat Tulis                                              Rp. 470.000

c. Perawatan Tikus                                                         Rp. 400.000

d. Makanan Tikus                                                          Rp. 465.000

  1. Transport @Rp. 200.000,- x 4 orang                          Rp. 800.000
  2. Komunikasi @Rp. 100.000,- x 4 orang                      Rp. 400.000
  3. Analisis preparat histologis                                         Rp. 650.000
  4. Lain-lain

a. Dokumentasi                                                              Rp. 400.000

b. Poster                                                                         Rp. 400.000

c. Seminar Hasil                                                             Rp. 700.000

d. Evaluasi program                                                        Rp. 448.000

e. Sewa Laboratorium                                                     Rp. 700.000

f. Sewa Alat (Bedah, dan Alat Perawatan Tikus)          Rp. 500.000

g. Laporan akhir                                                              Rp. 400.000

Total Biaya                                                                      Rp 9.263.000

 

K. DAFTAR PUSTAKA

Anonymous, 2000. Parameter Standart Umum Ekstrak Tumbuhan Obat Cetakan Pertama, Penerbit Departemen Kesehatan RI Diirektorat Jenderal Pengawasan Obat Dan Makanan Direktorat Pengawasan Obat Tradisional, Jakarta.

Darmansyah, 1995. Dasar-dasar Toksikologi Hubungan Antara Hewan Coba Dengan Manusia- Farmakologi Dan Terapi, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.

Ganong, W.F, 1999. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 17, Penerbit Buku Kedoktean EGC, Jakarta.

Ginson John, 1995. Anatomi Dan Fisiologi Modern Untuk Perawat, Penerbit

Gunarso W, 1969. Mikroteknik, Penerbit IPB, Bogor.

Gunawan & Soelaiman, 1979. Spermatozoa Normal (Dalam Buku Spermatologi), Penerbit Perkumpulan Andrologi Indonesia, Surabaya.

Guyton A.C, 1987. Fisiologi Manusia Dan Mekanisme Penyakit, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta.

Guyton & Hall, 1997. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi Sembilan, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta.

Hadi S, 2001. Statistik Jilid 2, Penerbit ANDI, Yogyakarta.

Hanafiah KA, 1993. Rancangan Percobaan Teori & Aplikasi edisi revisi, Penerbit Fakultas Pertanian Universitas Sriwijaya, Palembang.

Hardianto B, 1993. Pedoman Praktis Budidaya Tanaman Jambu (jambu mete, jambu air, jambu biji), Penerbit PD Mahkota, Jakata.

Kartasapoetra G, 1992. Budidaya Tanaman Berhasiat Obat, Penerbit Rineke Cipta, Jakata.

Koolman & Rohm, 2001. Biokimia Atlas Berwarna Dan Teks, Penerbit Hipokrates, Jakarta.

Lesson & Paparo, 1995. Buku Ajar Histologi, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta.

Rismunandar, 1989. Tanaman Jambu Biji, Penerbit Sinar Baru, Bandung. Salisbury & Ross, 1999. Fisiologi Tumbuhan Jilid 2, Penerbit ITB, Bandung.

Sundari D.danWinarno.W, 1997. Informasi Tanaman Obat Untuk Kontrasepsi Tradisional, Penerbit  Cermin Dunia Kedokteran No.120, Jakarta.

Surachman, 1978. Analisa Sperma 100 Pasangan Suami Istri Infertil Dari Karyawan Pertamina Dan Penduduk Di Daerah Pertamina Wilayah IV Balikpapan, Penerbit Perkumpulan Andrologi Indonesia, Surabaya.

Yatim W, 1994. Reproduksi dan Embryologi Untuk Mahasiswa Biologi Dan Kedokteran, Penerbit TARSITO, Bandung.

 

 

 

 

05/10/2011 Posted by | Contoh PKM | 2 Komentar